Jumat, 29 Maret 2013

Pemanfaatan Tanaman Hutan Berkhasiat Obat Masih Minim



Pemanfaatan tanaman hutan berkhasiat obat untuk industri jamu di Kalimantan Selatan masih rendah. Dari ribuan jenis tanaman yang diperkirakan berkhasiat obat, baru sebagian yang dimanfaatkan.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Kalsel Suryatinah dan Kepala Dinas Kesehatan Kalsel Rosihan Adhani, dalam kesempatan terpisah, di Banjarmasin, mengatakan, masih banyak tanaman obat yang belum tereksploitasi.

Menurut Suryatinah, Senin (3/9), tanaman obat yang sudah dimanfaatkan menjadi jamu baru beberapa, seperti pasak bumi untuk kesehatan dan vitalitas pria, tabat barito untuk kesehatan dan vitalitas perempuan, serta rumput fatima untuk kesuburan dan kesehatan.

Tanaman lain baru sebatas dimanfaatkan sebagai unsur pemelihara kesehatan oleh masyarakat pedalaman. ”Sejauh ini, manfaat tanaman sudah diketahui masyarakat. Namun, jika hendak dikembangkan, perlu penelitian lebih mendalam,” kata Suryatinah di sela-sela pemaparan hasil kajian etnobotani dalam rangka persiapan pembuatan Kebun Raya Kalsel.

Hasil penelitian

Balitbangda baru saja melakukan penelitian. Hasilnya, terdapat 177 jenis tanaman obat yang diperoleh di tujuh dari 13 kabupaten/kota di Kalsel. Hasil eksplorasi itu masih harus dipilah lagi yang sejenis.

Tanaman yang sudah diteliti antara lain nyenyiuran yang dipercaya masyarakat pedalaman sebagai obat kanker, uduk-uduk atau karang munting sebagai obat gangguan hati, gagali sebagai obat diare, dan rumput lelancang untuk merawat kesehatan perempuan pasca-persalinan.

Selain pemanfaatan tanaman obat masih rendah, menurut Rosihan, ada kecenderungan pabrik jamu di Kalsel makin berkurang. Dari catatan Dinas Kesehatan, 10 tahun lalu masih terdapat 26 pabrik jamu, saat ini tinggal tujuh pabrik.

Rosihan menduga masuknya jamu dari luar menjadi penyebab kalah bersaingnya pabrik jamu lokal. ”Tuntutan konsumen semakin tinggi. Masyarakat mencari produk yang sudah melalui pengujian dan terjamin kualitasnya. Ini menjadi tantangan bagi produsen lokal,” ujarnya.

Menurut dia, pihaknya akan membuat sentra pengembangan dan pengobatan tradisional (SPPT). Melalui SPPT akan diteliti tanaman yang memiliki khasiat obat dari sejumlah daerah di Kalsel. Setelah itu, baru dicarikan industri jamu dan dibantu pemasarannya.

”Kami akan mendukung dari segi kualitas dan higienitas. Kami sekarang sedang merintis integrasi pelayanan kesehatan modern dengan obat herbal. Ada rumah sakit yang melayani pasien dengan obat modern dan herbal,” katanya.


Sumber: http://health.kompas.com 

Konservasi Kawasan Ekosistem Leuser Hasilkan Bibit Tanaman Hutan


Program Pengembangan Kolaborasi Konservasi dan Perlindungan Kawasan Leuser (KEL) menghasilkan sebanyak 90.720 bibit tanaman untuk merestorasi lahan hutan di kawasan Blok Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

"Ini merupakan komponen kegiatan ketiga dalam pelatihan dan produksi bibit tanaman untuk persiapan restorasi koridor konektivitas dan lahan terdegradasi di KEL Blok Karo-Langkat seluas 150 Ha," kata Manajer Program Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Pusat Informasi Orangutan (YOSL-OIC) Masrizal Saraan di Medan, Senin 18 Februari 2013.

Masrizal menyebutkan bibit-bibit tersebut terdiri dari 41 spesies dimana hasil produksi triwulan pertama (Oktober-Desember 2012) sebanyak 41.205 bibit dan produksinya mencapai 49.515 bibit.

Dia menyebutkan, jenis bibit tanaman tersebut di antaranya, pulai (Alstonia scholaris), rambutan (Nephelium lappaceum), jeluak (Mallotus barbatus), turi-turi (Sesbania grandifora), cempedak (arthocarpus champeden), tiga urat (Cinnamommum spp.), sentang (Azadirachta exelsa), halaban (Vitex pubescens), sungkai (Peronema canesdens), salam (Syzygium polyanthum) dan lainnya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan kegiatan tersebut terdiri dari empat tahapan, meliputi memproduksi bibit, pembangunan pusat pembibitan dan pondok kerja, pembuatan pupuk kompos serta penyediaan/prosuksi bibit tanaman.

"Kegiatan pelatihan produksi bibit baru baru dapat terlaksana untuk dua kelompok, padahal pada triwulan sebelumnya telah terbentuk empat kelompok kerja restorasi," katanya.

Dia mengatakan dua kelompok lainnya telah mendapat pelatihan produksi bibit yang dilaksanakan pada November 2012 di pondok kerja restorasi di Desa Halaban, Kabupaten Langkat.

"Nantinya pondok tersebut akan difungsikan sebagai pusat pelatihan pembibitan (nursery training center)," katanya.

Masruzal menjelaskan bibit tanaman tersebut diproduksi dengan mencari biji dan anakan yang merupakan cabutan dari alam.

Dia menyebutkan, kegiatan tersebut meliputi persiapan alat dan bahan, persiapan media tanam, pengisian tanah ke 'polybag', penyemaian benih dan cabutan alam, penyapihan bibit dan perawatan bibit, seperti penyulaman sisip bibit, penyiraman dan penyiangan gulma.

"Penyemaian benih dan penyapihan bibit dilaksanakan dengan melibatkan ibu-ibu sekitar kampung," katanya.

Produksi bibit tersebut merupakan salah satu kegiatan restorasi di Kawasan Tanaman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Resor Sei Betung dan hasil kerjasama OIC dalam kapasitasnya sebagai Oversight Comittee Technical Meeting (OCTM) USAID untuk Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera.

Di resor tersebut, sekitar 200 hektar lahan sudah direstorasi sejak 2008, dimana saat ini tanaman sudah berumur empat tahun.


Sumber: Antara

INDUSTRI KEHUTANAN: RAPP bidik pasar ekspor bibit tanaman hutan



JAKARTA: PT Riau Andalan Pulp and Paper terus membidik peluang ekspor bibit tanaman hutan jenis akasia ke China dan Malaysia. Hingga kini, sejumlah sentra pembibitan yang dikembangkan RAPP mampu memproduksi 200 juta bibit akasia dan ekaliptus setiap tahun.
 
RAPP telah mengembangkan 4 pusat pembibitan di Pangkalan Kerinci, Pelalawan dan Baserah, serta sejumlah satellite nursery. Sebagian besar produksi bibit tanaman hutan dikonsentrasikan untuk memasok kebutuhan pengembangan hutan tanaman industri (HTI).
 
Direktur Utama PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Kusnan Rahmin mengungkapkan pembangunan sentra pembibitan merupakan bagian dari komitmen perusahaan guna mengoptimalkan potensi hutan dengan tetap menjunjung prinsip kelestarian.
 
Menurut Kusnan, pengembangan nursery itu telah mengadopsi teknologi pembibitan kehutanan yang berdampak langsung pada upaya-upaya pengurangan emisi karbon, termasuk strategi pengelolaan hutan tanaman yang berkelanjutan.
 
Selain itu, produktivitas dan kualitas serat kayu juga dapat dicapai dengan mengintegrasikan perbaikan genetik tanaman untuk sifat kayu yang diinginkan. RAPP, seru Kusnan, telah melakukan rangkaian penelitian penyebaran bahan genetic serta mengkaji praktik silvikultur yang tepat untuk lahan dan spesies dalam upaya meminimalkan penurunan kualitas karena hama dan penyakit.
 
“Pusat pembibitan ini juga akan mendukung ekspor bibit akasia ke Malaysia dan China. Ini akan menunjukkan apresiasi internasional terhadap kualitas bibit yang dihasilkan oleh RAPP,” katanya kepada Bisnis hari ini, (13/8).
 
Ekspor benih tanaman hutan perlu melengkapi sejumlah persyaratan seperti sertifikat asal-usul, sertifikat mutu benih dan bibit dari Balai dan Lembaga Sertifikasi, serta sertifikat kesehatan  dari Badan Karantina Tumbuhan apabila dibutuhkan pihak pemohon.
 
Kementerian Kehutanan menghimbau perusahaan yang mengimpor benih tanaman hutan perlu mempertimbangkan kualitas benih. Selain itu, pasokan kebutuhan di dalam negeri harus terpenuhi sebelum ekspor dilakukan.
 
Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Misbahul Huda mengungkapkan pasokan benih dan cadangan lahan HTI perlu menjadi prioritas guna menjamin peningkatan produksi pulp dan kertas Indonesia.
 
Pasalnya, pembangunan HTI pulp dan kertas berjalan lamban. Sejak 5 tahun terakhir, hanya 3,7 juta hektare HTI yang dibangun dari 10 juta ha yang dicadangkan. Hingga tahun lalu, produksi pulp nasional baru mencapai 6,9 juta ton per tahun dan produksi kertas sebesar 11,5 juta ton, masih jauh tertinggal dari torehan Brazil yang mampu memproduksi 174 juta ton kertas di areal HTI seluas 63 juta ha.
 
“Bahkan, luas HTI Indonesia dengan Vietnam saja sudah hampir sama. Pemerintah harus menjamin tambahan HTI kalau masih berharap industri ini bisa menjadi tulang punggung devisa negara dari sektor kehutanan,” ungkapnya.

sumber: http://archive.bisnis.com

Peningkatan Hutan Tanaman Industri 15 persen, Mampu Turunkan Emisi 43 persen

Pohon Acacia mangium (mangium) mampu menyerap emisi CO2 sekitar 300 kg CO2 per pohon

BOGOR (13 Maret, 2011)_Peningkatan luas tanaman Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 15 persen per tahun dapat menurunkan emisi tahunan sebesar 43 persen dari kondisi biasa atau business as usual (BAU), menurut hasil kajian terbaru Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan.
Dengan simulasi peningkatan luas HTI 15 persen per tahun, pada 2020 pembangunan HTI adalah sekitar 1,6 juta hektar, atau perkiraan luas total HTI mencapai 14,3 juta hektar, menurut studi yang dirilis dalam Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Volume 8 Nomor 2, 2011. Emisi karbon menurun menjadi sebesar 6 giga ton CO2 equivalent dari semula sebesar 10,8 giga ton pada kondisi BAU, menurut Indartik dkk, yang melakukan penelitian tersebut.
Apabila dihitung dengan rata-rata emisi tahunan, terjadi penurunan emisi sebesar 0,2 giga ton CO2 equivalent per tahun dibandingkan kondisi BAU. Tingkat emisi tahunan tersebut merupakan skenario tahun 2007 sampai tahun 2020 berdasarkan data aktivitas perubahan penutupan lahan di kawasan hutan tahun 1990 – 2006 secara agregat nasional.
“Penurunan emisi tersebut berlaku untuk HTI secara nasional dan jika asumsi pembangunan model dipenuhi,” kata Indartik baru-baru ini. Asumsi yang digunakan adalah bahwa peningkatan emisi dari  kawasan hutan dipengaruhi oleh peningkatan kepadatan penduduk, perluasan perkebunan sawit dan karet serta percepatan pembangunan HTI.
Hasil kajian menunjukkan bahwa 97 persen penutupan hutan dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, kebutuhan lahan untuk sawit besar dan karet swasta, serta pembangunan HTI. Pembangunan HTI memiliki hubungan positif dengan penutupan hutan artinya pembangunan HTI akan meningkatkan penutupan hutan.
Manfaat HTI bagi penutupan hutan akan lebih terasa jika dilakukan di kawasan hutan yang terdeforestasi dan terdegradasi yang masih luas di Indonesia. Dalam kajian  yang dilakukan Ari Wibowo dari Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan, kawasan yang masih tertutup oleh vegetasi hutan yang baik, juga kawasan dengan kandungan gambut tebal serta kawasan bernilai tinggi lainnya seharusnya tidak dikonversi dan tetap dipertahankan sebagai hutan.
Menurut data Kementerian Kehutanan, luas lahan kritis dalam kawasan hutan di Indonesia pada 2007 mencapai 51 juta hektar. Sementara pembangunan HTI baru mencapai sekitar 4 juta hektar. Hal ini membuka peluang pengembangan HTI di lahan-lahan kritis.
Beberapa jenis tanaman HTI yang telah dikembangkan di Indonesia antara lain Acacia mangium (mangium) dan Eucalyptus sp. Tanaman mangium mampu menyerap CO2 sekitar 300 kg CO2 per pohon dan tanaman Eucalyptus sp sekitar 400 kg CO2 per pohon.  Pada HTI mangium dan Eucalyptus sp dengan jarak 3 meter kali 3 meter, maka HTI tersebut mampu menyerap hampir 400 ton CO2 per hektar (mangium) dan mendekati 500 ton CO2 per hektar (Eucalyptus sp).

Sumber: http://www.redd-indonesia.org

MANFAAT KEANEKARAGAMAN HAYATI


Mahluk hidup di alam ini terdiri dari beranekaragam jenis, baik itu tumbuhan maupun hewan. Beranekaragam mahkluk hidup berperan penting dalam kehidupan manusia. Misalnya saja makanan kita sehari-hari, untuk mencapai empat sehat lima sempurna, diperlukan karbohidrat, lemak, protein juga serat yang berasal dari aneka ragam tumbuhan dan hewan.
Nasi sebagai sumber karbohidrat berasal dari beras tanaman padi. Roti sebagai makanan di pagi hari dan selingan berasal dari gandum, sayur mayur seperti kacang panjang, terong, nangka dan beranekaragam buah-buahan seperti jeruk, mangga, jambu, dan pisang.

Tumbuhan juga dimanfaatkan sebagai bumbu-bumbu penyedap makanan dalam makanan yang dimasak, seperti cabai, bawang, merica, kunyit dan kencur.

Sumber protein lauk pauk diperoleh dari telur ayam, ikan, dan daging yang berasal dari hewan. Hewan yang hidup di darat maupun di laut merupakan suatu kekayaan hayati yang berdaya guna untuk kehidupan manusia.

Selain sebagai bahan makanan, tumbuhan dan hewan juga dimanfaatkan sebagai bahan baku industri: Kulit sapi disamak untuk membuat sepatu dan tas. Kapas dipintal menjadi benang, yang kemudian ditenun menjadi kain. Getah karet diolah menjadi ban mobil. Kayu jati dan kayu lainnya digunakan untuk bahan bangunan dan perabot rumah. Batang kina, akar tinggal kunyit, daun keji beling dan tumbuhan kumis kucing digunakan sebagai ramuan obat. Ragi merupakan salah satu jenis mikroorganisme dimanfaatkan untuk membuat roti, tempe, kecap, dan berbagai jenis minuman.
Manfaat Keanekaragaman hayati baik langsung maupun tidak langsung dapat dirasakan dalam bidang ekonomi, lingkungan dan ilmu pengetahuan. Adapun manfaat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
  1. manfaat berbagai jenis mahkluk hidup dalam mendukung kelangsungan hidup manusia
  2. dapat diketahui adanya kekerabatan di antara makhluk hidup sehingga dapat dipelajari asal usul dari setiap jenis.
  3. adanya saling ketergantungan diantara berbagai jenis makhluk hidup.
  4. pentingnya keutuhan keanekaragaman hayati dalam mempertahankan keseimbangan lingkungan
Dengan mengetahui manfaat berbagai jenis makhluk hidup dan kekerabatan diantara makhluk hidup, manusia dapat membudidayakan dan mengupayakan bibit unggul tumbuhan dan hewan yang diperlukan untuk keberlangsungan hidupnya. Pemanfaatan keanekaragaman hayati harus dilakukan seoptimal mungkin dengan memperhatikan faktor-faktor lingkungan. Hutan dengan keanekaragaman hayatinya dapat digunakan sebagai objek rekreasi, pariwisata, penelitian, dan pendidikan. Pengambilan hasil hutan harus dilakukan secara terkendali. Selanjutnya berbagai tumbuhan dan hewan liar yang hidup di hutan dapat diteliti dan dikembangkan kegunaannya untuk menghasilkan bibit unggul yang bermanfaat, antara lain sebagai sumber makanan baru dan obat-obatan.

Dengan mengetahui adannya saling ketergantungan antara makhluk-makhluk hidup dan pentingnya keutuhan keanekaragaman hayati dalam mempertahankan keseimbangan lingkungan, diharapkan manusia dapat bertindak bijaksana dan tidak sewenang-wenang dalam memanfaatkan bebagai jenis makhluk hidup. Kita harus menyadari bahwa hilangnya salah satu jenis mahkluk hidup akan menyebabkan terjadinya gangguan pada lingkungan dan akibatnya pasti juga dirasakan oleh manusia.

Pada bulan Juni 1992 diadakan konferensi tingkat tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jainero, Brazil, guna membahas masalah keanekaragaman hayati dan usaha-usaha untuk melestarikannya. KTT itu menghasilkan beberapa konvensi diantaranya ialah konvensi keanekaragaman hayati dan konvensi perubahan iklim. Indonesia sebagai salah satu penanda tangan konvensi tersebut mempunyai kewajiban untuk melestarikan keanekaragaman hayati, mengingat bahwa kekayaan flora (dunia tumbuhan) dan fauna (dunia hewan) yang kita miliki kini terancam kepunahan karena mengalami penurunan dari waktu ke waktu, baik disebabkan oleh faktor alami maupun oleh perbuatan manusia.

Sumber: http://pengertian-definisi.blogspot.com                            

KONSERVASI TANAH



Pengertian dari konservasi tanah adalah upaya untuk mempertahankan, memelihara, memperbaiki/merehabilitasi, dan meningkatkan jumlah daya tanah, agar berdaya guna optimum sesuai dengan pemanfaatannya atau fungsinya. Konservasi meliputi masalah-masalah sebagai berikut:
  • Benefisiasi : mempertahankan serta mempertinggi fungsi, manfaat atau faedah sumberdaya tertentu.
  • Preservasi : pemeliharaan untuk mempertahankan kualitas dan kuantitas sumberdaya tertentu sepanjang waktu.
  • Restorasi : pemeliharaan, perbaikan untuk meningkatkan manfaat dan perkembangan sumber-sumber biotik.
  • Reklamasi : mengubah sumber-sumber yang tidak produktif atau tidak berguna, menjadi produktif dan bermanfaat kembali.
  • Efisiensi : pemanfaatan atau pengeluaran sesuatu sumber yang tidak boros atau berlebihan tetapi sesuai dengan keperluan atau kebutuhan.
  • Daur Ulang dan Pemanfaatan Ulang (Recicling dan Reuse) : upaya untuk mengolah ulang atau mendaur ulang bahan-bahan, sisa (waste) menjadi barang baru untuk bisa dipergunakan kembali.
Kegiatan konservasi antara lain termasuk : pengendalian banjir, pengendalian erosi, pembangunan pedesaan, fasilitas kesediaan air, irigasi, drainage, pengatur pembuangan limbah, reboisasi, penghijauan dan perhutanan sosial.


Sumber: http://pengertian-definisi.blogspot.com

Ekosistem Hutan Rawa



Ciri dari tipe ekosistem Hutan Rawa adalah hutan yang tumbuh pada daerah-daerah yang selalu tergenang air tawar, tidak dipengaruhi iklim. Pada umumnya terletak dibelakang hutan payau dengan jenis tanah aluvial dan aerasinya buruk. Tegakan hutan selalu hijau dengan pohon-pohon yang tinggi bisa mencapai 40 m dan terdiri atas banyak lapisan tajuk.

Tipe ekosistem hutan rawa terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia, misalnya di Sumatra bagian Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku dan Irian Jaya bagian Selatan.

Vegetasi yang menyusun ekosistem hutan rawa termasuk kategori vegetasi yang selalu hijau, di antaranya adalah berupa pohon-pohon dengan tinggi mencapai 40 meter dan mempunyai beberapa lapisan tajuk. Oleh karena hutan rawa ini mempunyai beberapa lapisan tajuk (beberapa stratum), maka bentuknya hampir menyerupai ekosistem hutan hujan tropis. Spesies-spesies pohon yang banyak terdapat dalam ekosistem hutan rawa antara lain Eucalyptus degulpta, Palaquium leiocarpum, Shorea uliginosa, Campnosperma macrophylla, Gareinia spp., Eugenia spp., Canarium spp., Koompassia spp., Calophyllum spp., Xylopia spp.. Pada umumnya spesies-spesies tumbuhan yang ada di dalam ekosistem hutan rawa cendenmg berkelompok membentuk komunitas tumbuhan yang miskin spesies. Dengan kata lain, penyebaran spesies tumbuhan yang ada di ekosistem hutan rawa itu tidak merata.

equaliptus deglupta
Eucalyptus degulpta tumbuh pada hutan rawa di MALUKU

Ada beberapa daerah berawa yang hanya ditumbuhi rumput, ada pula yang hanya didominasi oleh pandan dan palem. Meskipun demikian ada juga yang menyerupai hutan hujan tropis dataran rendah dengan pohon-pohon berakar tunjang, berbagai spesies palem, dan terdapat spesies-spesies tumbuhan epifit, tetapi kekayaan jenis dan kepadatannya tentu lebih rendah dibandingkan dengan ekosistem hutan hujan tropis.

PUSTAKA :
  1. Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
  2. Kusmana & Istomo, 1995. Ekologi Hutan : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
  3. Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
  4. Richard & Steven, 1988. Forest Ecosystem : Academic Press. San Diego. California.
  5. Arief, A. 1994, Hutan Hakekat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia Jakarta.