Jumat, 29 Maret 2013

Pemanfaatan Tanaman Hutan Berkhasiat Obat Masih Minim



Pemanfaatan tanaman hutan berkhasiat obat untuk industri jamu di Kalimantan Selatan masih rendah. Dari ribuan jenis tanaman yang diperkirakan berkhasiat obat, baru sebagian yang dimanfaatkan.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Kalsel Suryatinah dan Kepala Dinas Kesehatan Kalsel Rosihan Adhani, dalam kesempatan terpisah, di Banjarmasin, mengatakan, masih banyak tanaman obat yang belum tereksploitasi.

Menurut Suryatinah, Senin (3/9), tanaman obat yang sudah dimanfaatkan menjadi jamu baru beberapa, seperti pasak bumi untuk kesehatan dan vitalitas pria, tabat barito untuk kesehatan dan vitalitas perempuan, serta rumput fatima untuk kesuburan dan kesehatan.

Tanaman lain baru sebatas dimanfaatkan sebagai unsur pemelihara kesehatan oleh masyarakat pedalaman. ”Sejauh ini, manfaat tanaman sudah diketahui masyarakat. Namun, jika hendak dikembangkan, perlu penelitian lebih mendalam,” kata Suryatinah di sela-sela pemaparan hasil kajian etnobotani dalam rangka persiapan pembuatan Kebun Raya Kalsel.

Hasil penelitian

Balitbangda baru saja melakukan penelitian. Hasilnya, terdapat 177 jenis tanaman obat yang diperoleh di tujuh dari 13 kabupaten/kota di Kalsel. Hasil eksplorasi itu masih harus dipilah lagi yang sejenis.

Tanaman yang sudah diteliti antara lain nyenyiuran yang dipercaya masyarakat pedalaman sebagai obat kanker, uduk-uduk atau karang munting sebagai obat gangguan hati, gagali sebagai obat diare, dan rumput lelancang untuk merawat kesehatan perempuan pasca-persalinan.

Selain pemanfaatan tanaman obat masih rendah, menurut Rosihan, ada kecenderungan pabrik jamu di Kalsel makin berkurang. Dari catatan Dinas Kesehatan, 10 tahun lalu masih terdapat 26 pabrik jamu, saat ini tinggal tujuh pabrik.

Rosihan menduga masuknya jamu dari luar menjadi penyebab kalah bersaingnya pabrik jamu lokal. ”Tuntutan konsumen semakin tinggi. Masyarakat mencari produk yang sudah melalui pengujian dan terjamin kualitasnya. Ini menjadi tantangan bagi produsen lokal,” ujarnya.

Menurut dia, pihaknya akan membuat sentra pengembangan dan pengobatan tradisional (SPPT). Melalui SPPT akan diteliti tanaman yang memiliki khasiat obat dari sejumlah daerah di Kalsel. Setelah itu, baru dicarikan industri jamu dan dibantu pemasarannya.

”Kami akan mendukung dari segi kualitas dan higienitas. Kami sekarang sedang merintis integrasi pelayanan kesehatan modern dengan obat herbal. Ada rumah sakit yang melayani pasien dengan obat modern dan herbal,” katanya.


Sumber: http://health.kompas.com 

Konservasi Kawasan Ekosistem Leuser Hasilkan Bibit Tanaman Hutan


Program Pengembangan Kolaborasi Konservasi dan Perlindungan Kawasan Leuser (KEL) menghasilkan sebanyak 90.720 bibit tanaman untuk merestorasi lahan hutan di kawasan Blok Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

"Ini merupakan komponen kegiatan ketiga dalam pelatihan dan produksi bibit tanaman untuk persiapan restorasi koridor konektivitas dan lahan terdegradasi di KEL Blok Karo-Langkat seluas 150 Ha," kata Manajer Program Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Pusat Informasi Orangutan (YOSL-OIC) Masrizal Saraan di Medan, Senin 18 Februari 2013.

Masrizal menyebutkan bibit-bibit tersebut terdiri dari 41 spesies dimana hasil produksi triwulan pertama (Oktober-Desember 2012) sebanyak 41.205 bibit dan produksinya mencapai 49.515 bibit.

Dia menyebutkan, jenis bibit tanaman tersebut di antaranya, pulai (Alstonia scholaris), rambutan (Nephelium lappaceum), jeluak (Mallotus barbatus), turi-turi (Sesbania grandifora), cempedak (arthocarpus champeden), tiga urat (Cinnamommum spp.), sentang (Azadirachta exelsa), halaban (Vitex pubescens), sungkai (Peronema canesdens), salam (Syzygium polyanthum) dan lainnya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan kegiatan tersebut terdiri dari empat tahapan, meliputi memproduksi bibit, pembangunan pusat pembibitan dan pondok kerja, pembuatan pupuk kompos serta penyediaan/prosuksi bibit tanaman.

"Kegiatan pelatihan produksi bibit baru baru dapat terlaksana untuk dua kelompok, padahal pada triwulan sebelumnya telah terbentuk empat kelompok kerja restorasi," katanya.

Dia mengatakan dua kelompok lainnya telah mendapat pelatihan produksi bibit yang dilaksanakan pada November 2012 di pondok kerja restorasi di Desa Halaban, Kabupaten Langkat.

"Nantinya pondok tersebut akan difungsikan sebagai pusat pelatihan pembibitan (nursery training center)," katanya.

Masruzal menjelaskan bibit tanaman tersebut diproduksi dengan mencari biji dan anakan yang merupakan cabutan dari alam.

Dia menyebutkan, kegiatan tersebut meliputi persiapan alat dan bahan, persiapan media tanam, pengisian tanah ke 'polybag', penyemaian benih dan cabutan alam, penyapihan bibit dan perawatan bibit, seperti penyulaman sisip bibit, penyiraman dan penyiangan gulma.

"Penyemaian benih dan penyapihan bibit dilaksanakan dengan melibatkan ibu-ibu sekitar kampung," katanya.

Produksi bibit tersebut merupakan salah satu kegiatan restorasi di Kawasan Tanaman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Resor Sei Betung dan hasil kerjasama OIC dalam kapasitasnya sebagai Oversight Comittee Technical Meeting (OCTM) USAID untuk Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera.

Di resor tersebut, sekitar 200 hektar lahan sudah direstorasi sejak 2008, dimana saat ini tanaman sudah berumur empat tahun.


Sumber: Antara

INDUSTRI KEHUTANAN: RAPP bidik pasar ekspor bibit tanaman hutan



JAKARTA: PT Riau Andalan Pulp and Paper terus membidik peluang ekspor bibit tanaman hutan jenis akasia ke China dan Malaysia. Hingga kini, sejumlah sentra pembibitan yang dikembangkan RAPP mampu memproduksi 200 juta bibit akasia dan ekaliptus setiap tahun.
 
RAPP telah mengembangkan 4 pusat pembibitan di Pangkalan Kerinci, Pelalawan dan Baserah, serta sejumlah satellite nursery. Sebagian besar produksi bibit tanaman hutan dikonsentrasikan untuk memasok kebutuhan pengembangan hutan tanaman industri (HTI).
 
Direktur Utama PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Kusnan Rahmin mengungkapkan pembangunan sentra pembibitan merupakan bagian dari komitmen perusahaan guna mengoptimalkan potensi hutan dengan tetap menjunjung prinsip kelestarian.
 
Menurut Kusnan, pengembangan nursery itu telah mengadopsi teknologi pembibitan kehutanan yang berdampak langsung pada upaya-upaya pengurangan emisi karbon, termasuk strategi pengelolaan hutan tanaman yang berkelanjutan.
 
Selain itu, produktivitas dan kualitas serat kayu juga dapat dicapai dengan mengintegrasikan perbaikan genetik tanaman untuk sifat kayu yang diinginkan. RAPP, seru Kusnan, telah melakukan rangkaian penelitian penyebaran bahan genetic serta mengkaji praktik silvikultur yang tepat untuk lahan dan spesies dalam upaya meminimalkan penurunan kualitas karena hama dan penyakit.
 
“Pusat pembibitan ini juga akan mendukung ekspor bibit akasia ke Malaysia dan China. Ini akan menunjukkan apresiasi internasional terhadap kualitas bibit yang dihasilkan oleh RAPP,” katanya kepada Bisnis hari ini, (13/8).
 
Ekspor benih tanaman hutan perlu melengkapi sejumlah persyaratan seperti sertifikat asal-usul, sertifikat mutu benih dan bibit dari Balai dan Lembaga Sertifikasi, serta sertifikat kesehatan  dari Badan Karantina Tumbuhan apabila dibutuhkan pihak pemohon.
 
Kementerian Kehutanan menghimbau perusahaan yang mengimpor benih tanaman hutan perlu mempertimbangkan kualitas benih. Selain itu, pasokan kebutuhan di dalam negeri harus terpenuhi sebelum ekspor dilakukan.
 
Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Misbahul Huda mengungkapkan pasokan benih dan cadangan lahan HTI perlu menjadi prioritas guna menjamin peningkatan produksi pulp dan kertas Indonesia.
 
Pasalnya, pembangunan HTI pulp dan kertas berjalan lamban. Sejak 5 tahun terakhir, hanya 3,7 juta hektare HTI yang dibangun dari 10 juta ha yang dicadangkan. Hingga tahun lalu, produksi pulp nasional baru mencapai 6,9 juta ton per tahun dan produksi kertas sebesar 11,5 juta ton, masih jauh tertinggal dari torehan Brazil yang mampu memproduksi 174 juta ton kertas di areal HTI seluas 63 juta ha.
 
“Bahkan, luas HTI Indonesia dengan Vietnam saja sudah hampir sama. Pemerintah harus menjamin tambahan HTI kalau masih berharap industri ini bisa menjadi tulang punggung devisa negara dari sektor kehutanan,” ungkapnya.

sumber: http://archive.bisnis.com

Peningkatan Hutan Tanaman Industri 15 persen, Mampu Turunkan Emisi 43 persen

Pohon Acacia mangium (mangium) mampu menyerap emisi CO2 sekitar 300 kg CO2 per pohon

BOGOR (13 Maret, 2011)_Peningkatan luas tanaman Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 15 persen per tahun dapat menurunkan emisi tahunan sebesar 43 persen dari kondisi biasa atau business as usual (BAU), menurut hasil kajian terbaru Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan.
Dengan simulasi peningkatan luas HTI 15 persen per tahun, pada 2020 pembangunan HTI adalah sekitar 1,6 juta hektar, atau perkiraan luas total HTI mencapai 14,3 juta hektar, menurut studi yang dirilis dalam Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Volume 8 Nomor 2, 2011. Emisi karbon menurun menjadi sebesar 6 giga ton CO2 equivalent dari semula sebesar 10,8 giga ton pada kondisi BAU, menurut Indartik dkk, yang melakukan penelitian tersebut.
Apabila dihitung dengan rata-rata emisi tahunan, terjadi penurunan emisi sebesar 0,2 giga ton CO2 equivalent per tahun dibandingkan kondisi BAU. Tingkat emisi tahunan tersebut merupakan skenario tahun 2007 sampai tahun 2020 berdasarkan data aktivitas perubahan penutupan lahan di kawasan hutan tahun 1990 – 2006 secara agregat nasional.
“Penurunan emisi tersebut berlaku untuk HTI secara nasional dan jika asumsi pembangunan model dipenuhi,” kata Indartik baru-baru ini. Asumsi yang digunakan adalah bahwa peningkatan emisi dari  kawasan hutan dipengaruhi oleh peningkatan kepadatan penduduk, perluasan perkebunan sawit dan karet serta percepatan pembangunan HTI.
Hasil kajian menunjukkan bahwa 97 persen penutupan hutan dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, kebutuhan lahan untuk sawit besar dan karet swasta, serta pembangunan HTI. Pembangunan HTI memiliki hubungan positif dengan penutupan hutan artinya pembangunan HTI akan meningkatkan penutupan hutan.
Manfaat HTI bagi penutupan hutan akan lebih terasa jika dilakukan di kawasan hutan yang terdeforestasi dan terdegradasi yang masih luas di Indonesia. Dalam kajian  yang dilakukan Ari Wibowo dari Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan, kawasan yang masih tertutup oleh vegetasi hutan yang baik, juga kawasan dengan kandungan gambut tebal serta kawasan bernilai tinggi lainnya seharusnya tidak dikonversi dan tetap dipertahankan sebagai hutan.
Menurut data Kementerian Kehutanan, luas lahan kritis dalam kawasan hutan di Indonesia pada 2007 mencapai 51 juta hektar. Sementara pembangunan HTI baru mencapai sekitar 4 juta hektar. Hal ini membuka peluang pengembangan HTI di lahan-lahan kritis.
Beberapa jenis tanaman HTI yang telah dikembangkan di Indonesia antara lain Acacia mangium (mangium) dan Eucalyptus sp. Tanaman mangium mampu menyerap CO2 sekitar 300 kg CO2 per pohon dan tanaman Eucalyptus sp sekitar 400 kg CO2 per pohon.  Pada HTI mangium dan Eucalyptus sp dengan jarak 3 meter kali 3 meter, maka HTI tersebut mampu menyerap hampir 400 ton CO2 per hektar (mangium) dan mendekati 500 ton CO2 per hektar (Eucalyptus sp).

Sumber: http://www.redd-indonesia.org

MANFAAT KEANEKARAGAMAN HAYATI


Mahluk hidup di alam ini terdiri dari beranekaragam jenis, baik itu tumbuhan maupun hewan. Beranekaragam mahkluk hidup berperan penting dalam kehidupan manusia. Misalnya saja makanan kita sehari-hari, untuk mencapai empat sehat lima sempurna, diperlukan karbohidrat, lemak, protein juga serat yang berasal dari aneka ragam tumbuhan dan hewan.
Nasi sebagai sumber karbohidrat berasal dari beras tanaman padi. Roti sebagai makanan di pagi hari dan selingan berasal dari gandum, sayur mayur seperti kacang panjang, terong, nangka dan beranekaragam buah-buahan seperti jeruk, mangga, jambu, dan pisang.

Tumbuhan juga dimanfaatkan sebagai bumbu-bumbu penyedap makanan dalam makanan yang dimasak, seperti cabai, bawang, merica, kunyit dan kencur.

Sumber protein lauk pauk diperoleh dari telur ayam, ikan, dan daging yang berasal dari hewan. Hewan yang hidup di darat maupun di laut merupakan suatu kekayaan hayati yang berdaya guna untuk kehidupan manusia.

Selain sebagai bahan makanan, tumbuhan dan hewan juga dimanfaatkan sebagai bahan baku industri: Kulit sapi disamak untuk membuat sepatu dan tas. Kapas dipintal menjadi benang, yang kemudian ditenun menjadi kain. Getah karet diolah menjadi ban mobil. Kayu jati dan kayu lainnya digunakan untuk bahan bangunan dan perabot rumah. Batang kina, akar tinggal kunyit, daun keji beling dan tumbuhan kumis kucing digunakan sebagai ramuan obat. Ragi merupakan salah satu jenis mikroorganisme dimanfaatkan untuk membuat roti, tempe, kecap, dan berbagai jenis minuman.
Manfaat Keanekaragaman hayati baik langsung maupun tidak langsung dapat dirasakan dalam bidang ekonomi, lingkungan dan ilmu pengetahuan. Adapun manfaat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
  1. manfaat berbagai jenis mahkluk hidup dalam mendukung kelangsungan hidup manusia
  2. dapat diketahui adanya kekerabatan di antara makhluk hidup sehingga dapat dipelajari asal usul dari setiap jenis.
  3. adanya saling ketergantungan diantara berbagai jenis makhluk hidup.
  4. pentingnya keutuhan keanekaragaman hayati dalam mempertahankan keseimbangan lingkungan
Dengan mengetahui manfaat berbagai jenis makhluk hidup dan kekerabatan diantara makhluk hidup, manusia dapat membudidayakan dan mengupayakan bibit unggul tumbuhan dan hewan yang diperlukan untuk keberlangsungan hidupnya. Pemanfaatan keanekaragaman hayati harus dilakukan seoptimal mungkin dengan memperhatikan faktor-faktor lingkungan. Hutan dengan keanekaragaman hayatinya dapat digunakan sebagai objek rekreasi, pariwisata, penelitian, dan pendidikan. Pengambilan hasil hutan harus dilakukan secara terkendali. Selanjutnya berbagai tumbuhan dan hewan liar yang hidup di hutan dapat diteliti dan dikembangkan kegunaannya untuk menghasilkan bibit unggul yang bermanfaat, antara lain sebagai sumber makanan baru dan obat-obatan.

Dengan mengetahui adannya saling ketergantungan antara makhluk-makhluk hidup dan pentingnya keutuhan keanekaragaman hayati dalam mempertahankan keseimbangan lingkungan, diharapkan manusia dapat bertindak bijaksana dan tidak sewenang-wenang dalam memanfaatkan bebagai jenis makhluk hidup. Kita harus menyadari bahwa hilangnya salah satu jenis mahkluk hidup akan menyebabkan terjadinya gangguan pada lingkungan dan akibatnya pasti juga dirasakan oleh manusia.

Pada bulan Juni 1992 diadakan konferensi tingkat tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jainero, Brazil, guna membahas masalah keanekaragaman hayati dan usaha-usaha untuk melestarikannya. KTT itu menghasilkan beberapa konvensi diantaranya ialah konvensi keanekaragaman hayati dan konvensi perubahan iklim. Indonesia sebagai salah satu penanda tangan konvensi tersebut mempunyai kewajiban untuk melestarikan keanekaragaman hayati, mengingat bahwa kekayaan flora (dunia tumbuhan) dan fauna (dunia hewan) yang kita miliki kini terancam kepunahan karena mengalami penurunan dari waktu ke waktu, baik disebabkan oleh faktor alami maupun oleh perbuatan manusia.

Sumber: http://pengertian-definisi.blogspot.com                            

KONSERVASI TANAH



Pengertian dari konservasi tanah adalah upaya untuk mempertahankan, memelihara, memperbaiki/merehabilitasi, dan meningkatkan jumlah daya tanah, agar berdaya guna optimum sesuai dengan pemanfaatannya atau fungsinya. Konservasi meliputi masalah-masalah sebagai berikut:
  • Benefisiasi : mempertahankan serta mempertinggi fungsi, manfaat atau faedah sumberdaya tertentu.
  • Preservasi : pemeliharaan untuk mempertahankan kualitas dan kuantitas sumberdaya tertentu sepanjang waktu.
  • Restorasi : pemeliharaan, perbaikan untuk meningkatkan manfaat dan perkembangan sumber-sumber biotik.
  • Reklamasi : mengubah sumber-sumber yang tidak produktif atau tidak berguna, menjadi produktif dan bermanfaat kembali.
  • Efisiensi : pemanfaatan atau pengeluaran sesuatu sumber yang tidak boros atau berlebihan tetapi sesuai dengan keperluan atau kebutuhan.
  • Daur Ulang dan Pemanfaatan Ulang (Recicling dan Reuse) : upaya untuk mengolah ulang atau mendaur ulang bahan-bahan, sisa (waste) menjadi barang baru untuk bisa dipergunakan kembali.
Kegiatan konservasi antara lain termasuk : pengendalian banjir, pengendalian erosi, pembangunan pedesaan, fasilitas kesediaan air, irigasi, drainage, pengatur pembuangan limbah, reboisasi, penghijauan dan perhutanan sosial.


Sumber: http://pengertian-definisi.blogspot.com

Ekosistem Hutan Rawa



Ciri dari tipe ekosistem Hutan Rawa adalah hutan yang tumbuh pada daerah-daerah yang selalu tergenang air tawar, tidak dipengaruhi iklim. Pada umumnya terletak dibelakang hutan payau dengan jenis tanah aluvial dan aerasinya buruk. Tegakan hutan selalu hijau dengan pohon-pohon yang tinggi bisa mencapai 40 m dan terdiri atas banyak lapisan tajuk.

Tipe ekosistem hutan rawa terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia, misalnya di Sumatra bagian Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku dan Irian Jaya bagian Selatan.

Vegetasi yang menyusun ekosistem hutan rawa termasuk kategori vegetasi yang selalu hijau, di antaranya adalah berupa pohon-pohon dengan tinggi mencapai 40 meter dan mempunyai beberapa lapisan tajuk. Oleh karena hutan rawa ini mempunyai beberapa lapisan tajuk (beberapa stratum), maka bentuknya hampir menyerupai ekosistem hutan hujan tropis. Spesies-spesies pohon yang banyak terdapat dalam ekosistem hutan rawa antara lain Eucalyptus degulpta, Palaquium leiocarpum, Shorea uliginosa, Campnosperma macrophylla, Gareinia spp., Eugenia spp., Canarium spp., Koompassia spp., Calophyllum spp., Xylopia spp.. Pada umumnya spesies-spesies tumbuhan yang ada di dalam ekosistem hutan rawa cendenmg berkelompok membentuk komunitas tumbuhan yang miskin spesies. Dengan kata lain, penyebaran spesies tumbuhan yang ada di ekosistem hutan rawa itu tidak merata.

equaliptus deglupta
Eucalyptus degulpta tumbuh pada hutan rawa di MALUKU

Ada beberapa daerah berawa yang hanya ditumbuhi rumput, ada pula yang hanya didominasi oleh pandan dan palem. Meskipun demikian ada juga yang menyerupai hutan hujan tropis dataran rendah dengan pohon-pohon berakar tunjang, berbagai spesies palem, dan terdapat spesies-spesies tumbuhan epifit, tetapi kekayaan jenis dan kepadatannya tentu lebih rendah dibandingkan dengan ekosistem hutan hujan tropis.

PUSTAKA :
  1. Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
  2. Kusmana & Istomo, 1995. Ekologi Hutan : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
  3. Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
  4. Richard & Steven, 1988. Forest Ecosystem : Academic Press. San Diego. California.
  5. Arief, A. 1994, Hutan Hakekat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia Jakarta.

Ekosistem .:: HUTAN GAMBUT ::.



Hutan gambut adalah hutan yang tumbuh di atas kawasan yang digenangi air dalam keadaan asam dengan pH 3,5 - 4,0. Hal itu tentunya menjadikan tanah sangat miskin hara. Menurut Indriyanto (2005), hutan gambut didefinisikan sebagai hutan yang terdapat pada daerah bergambut ialah daerah yang digenangi air tawar dalam keadaan asam dan di dalamnya terdapat penumpukan bahan ­bahan tanaman yang telah mati.
Ekosistem hutan gambut merupakan suatu tipe ekosistem hutan yang cukup unik karena tumbuh di atas tumpukan bahan organik yang melimpah. Daerah gambut pada umumnya mengalami genangan air tawar secara periodik dan lahannya memiliki topografi bergelombang kecil sehingga menciptakan bagian-bagian cekungan tergenang air tawar.
Arief (1994) mengemukakan bahwa gambut itu terjadi pada hutan­-hutan yang pohonnya tumbang dan tenggelam dalam lumpur yang hanya mengandung sedikit oksigen, sehingga jasad renik tanah sebagai pelaku pembusukan tidak mampu melakukan tugasnya secara baik. Akhirnya bahon-bahan organik dari pepohonan yang telah mati dan tumbang tertumpuk dan lambat laun berubah menjadi gambut yang tebalnya bisa mencapai 20 m.
 
Menurut Irwan (1992), gambut adalah suatu tipe tanah yang terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan (akar, batang, cabang, ranting, daun, dan lainnya) dan mempunyai kandungan bahan organik yang sangat tinggi. Permukaan gambut tampak seperti kerak yang berserabut, kemudian bagian dalam yang lembap berisi tumpukan sisa-sisa tumbuhan, baik itu potongan-potongan kayu besar maupun sisa-sisa tumbuhan lainnya. Anwar dkk. (1984 dalam Irwan, 1992) mengemukakan bahwa gambut dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, yaitu gambut ombrogen dan gambut topogen.
1. Gambut ombrogen
 
Bentuk gambut ini umum dijumpai dan banyak ditemukan di daerah dekat pantai dengan kedalaman gambut mencapai 20 m. Air gambut itu sangat asam dan sangat miskin hara (oligotrofik) terutama kalsium karena tidak ada zat hara yang masuk dari sumber lain, sehingga tumbuhan yang hidup pada tanah gambut ombrogen menggunakan zat hara dari gambut dan dari air hujan.
2. Gambut topogen
 
Bentuk gambut seperti ini tidak sering dijumpai, biasanya terbentuk pada lekukan-lekukan tanah di pantai-pantai (di balik bukit pasir) dan di daerah pedalaman yang drainasenya terhambat. Air gambut ini bersifat agak asam dan mengandung zat hara agak banyak (mesotrofik). Tumbuhan-tumbuhan yang hidup pada tanah gambut topogen masih mendapatkan zat hara dari tanah mineral, air sungai, sisa-sisa tumbuhan, dan air hujan.
Tipe ekosistem hutan gambut ini berada pada daerah yang mempunyai tipe iklim A dan B (tipe iklim menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson), pada tanah organosol yang memiliki lapisan gambut setebal lebih dari 50 cm (Santoso,1996; Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Hutan gambut itu pada umumnya terletak di antara hutan rawa dan hutan hujan.
Vegetasi yang menyusun ekosistem hutan gambut merupakan spesies-spesies tumbuhan yang selalu hijau (evergreen). Spesies-spesies pohon yang banyak dijumpai di dalam ekosistem hutan gambut antara lain Alstonia spp., Dyera spp., Durio carinatus, Palaquium spp., Tristania spp., Eugenia spp., Cratoxylon arborescens, Tetramerista glabra, Dactyloeladus stenostachys, Diospyros spp., dan Myristica spp. Khusus di Kalimantan dan Sumatra Selatan, pada ekosistem hutan gambut banyak dijumpai Gonystylus spp.
PUSTAKA :
  1. Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
  2. Kusmana & Istomo, 1995. Ekologi Hutan : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
  3. Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
  4. Richard & Steven, 1988. Forest Ecosystem : Academic Press. San Diego. California.
  5. Arief, A. 1994, Hutan Hakekat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia Jakarta.

Ekosistem Hutan Payau atau Hutan Mangrove


MANGROVE

Ekosistem hutan payau atau ekosistem hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Menurut FAO, Hutan Mangrove adalah Komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Kondisi habitat tanah berlumpur, berpasir, atau lumpur berpasir. Ekosistem tersebut merupakan ekosistem yang khas untuk daerah tropis dan sub tropis, terdapat di derah pantai yang berlumpur dan airnya tenang (gelombang laut tidak besar). Ekosistern hutan itu disebut ekosistem hutan payau karena terdapat di daerah payau (estuarin), yaitu daerah perairan dengan kadar garam/salinitas antara 0,5 °/oo dan 30°/oo disebut juga ekosistem hutan pasang surut karena terdapat di daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.

MANGROVE

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis ”Mangue” dan bahasa Inggris ”grove” (Macnae, 1968 dalam Kusmana et al, 2003). Dalam bahasa inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut.

Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah hutan bakau untuk hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora, sementara hutan mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari (Kusmana et al, 2003).

Mangrove tersebar di seluruh lautan tropik dan subtropik, tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang; bila keadaan pantai sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan menjatuhkan akarnya. Pantai-pantai ini tepat di sepanjang sisi pulau-pulau yang terlindung dari angin, atau serangkaian pulau atau pada pulau massa daratan di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung (Nybakken, 1998).

Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob. Mangrove tersebar di seluruh lautan tropik dan subtropik, tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang; bila keadaan pantai sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan menancapkan akarnya.
Ekosistem hutan payau termasuk tipe ekosistem hutan yang tidak terpengaruh oleh iklim, tetapi faktor lingkungan yang sangat dominan dalam pembentukan ekosistem itu adalah faktor edafis. Salah satu faktor lingkungan lainnya yang sangat menentukan perkembangan hutan payau adalah salinitas atau kadar garam (Kusmana, 1997).
Vegetasi yang terdapat dalam ekosistem hutan payau didominasi oleh tumbuh-tumbuhan yang mempunyai akar napas atau pneumatofora (Ewusie, 1990). Di samping itu, spesies tumbuhan yang hidup dalam ekosistem hutan payau adalah spesies tumbuhan yang memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap salinitas payau dan harus hidup pada kondisi lingkungan yang demikian, sehingga spesies tumbuhannya disebut tumbuhan halophytes obligat. Tumbuh-tumbuhan itu pada umumnya merupakan spesies pohon yang dapat mencapai ketinggian 50 m dan hanya membentuk satu stratum tajuk, sehingga umumnya dikatakan bahwa pada hutan payau tidak ada stratifikasi tajuk secara lengkap seperti pada tipe-tipe ekosistem hutan lainnya. tumbuh-tumbuhan yang ada atau dijumpai pada ekosistem hutan payau terdiri atas 12 genus tumbuhan berbunga antara lain genus Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aeigiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Gonocarpus.
Ekosistem hutan payau di Indonesia memiliki keanekaragaman spesies tumbuhan yang tinggi dengan jumlah spesies tercatat sebanyak lebih kurang 202 spesies yang terdiri atas 89 spesies pohon, 5 spesies palem, 19 spesies liana, 44 spesies epifit, dan satu spesies sikas (Bengen, 1999). Spesies-spesies pohon utama di daerah payau pada umumnya membentuk tegakan murni dan merupakan ciri khas komunitas tumbuhannya. Spesies-spesies pohon utama itu antara lain Avicennia spp., Sonneratia spp., Rhizophora spp., dan Bruguiera spp. Spesies-spesies pohon yang dapat menjadi pionir menuju ke arah laut adalah Avicennia spp., Sonneratia spp., dan Rhizophora spp., tetapi bergantung kepada kedalaman pantai dan ombaknya.
Adapun spesies-spesies tumbuhan payau tersebut dapat digolongkan ke dalam sejumlah jalur tertentu sesuai dengan tingkat toleransinya terhadap kadar garam dan fluktuasi permukaan air laut di pantai, dan jalur seperti itu disebut juga zonasi vegetasi. Jalur-jalur atau zonasi vegetasi hutan payau masing-masing disebutkan secara berurutan dari yang paling dekat dengan laut ke arah darat sebagai berikut.
  1. Jalur pedada yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Avicennia spp. dan Sonneratia spp.
  2. Jalur bakau yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Rhizophora spp. dan kadang-kadang juga dijumpai Bruguiera spp., Ceriops spp., dan Xylocarpus spp.
  3. Jalur tancang yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Bruguiera spp. dan kadang-kadang juga dijumpai Xylocarpus spp., Kandelia spp., dan Aegiceras spp.
  4. Jalur transisi antara hutan payau dengan hutan dataran rendah yang umumnya adalah hutan nipah dengan spesies Nypa fruticans.
Dari segi ekologi, ekosistem hutan payau merupakan habitat unik dan paling khas yang dalam banyak hal berbeda dengan habitat-habitat lainnya. Contoh tipe ekosistem hutan payau ini dapat dilihat pada Gambar 1. Di habitat ini memungkinkan terjalinnya perpaduan yang unik antara organisme laut dan darat, serta antara organisme air asin dan air tawar.

Gambar 1. Ekosistem Hutan Mangrove Seram Utara, Maluku ( Irwanto, 2008)
Ekosistem hutan payau tersebut memiliki fungsi yang sangat kompleks, antara lain sebagai peredam gelombang laut dan angin badai, pelindung pantai dari proses abrasi dan erosi, penahan lumpur dan penjerat sedimen, penghasil detritus, sebagai tempat berlindung dan mencari makan, serta tempat berpijah berbagai spesies biota perairan payau, sebagai tempat rekreasi, dan penghasil kayu. Di samping itu, ekosistem hutan payau juga sebagai tempat/habitat berbagai satwa liar, terutama spesies burung/aves dan mamalia, sehingga kelestarian hutan payau akan berperan dalam melestarikan berbagai satwa liar tersebut.

Dari segi peran ekosistem hutan payau terhadap pelestarian lingkungan di sekitarnya terbukti sangat besar, lahan tambak di daerah pantai ternyata dapat dimanfaatkan secara optimal untuk usaha perikanan tambak. Hal tersebut dapat terjadi karena kekuatan air pasang dapat dikendalikan oleh keberadaan ekosistem hutan payau, sehingga lahan-lahan di daerah pantai dapat dimanfaatkan secara baik untuk tambak. Tambak di daerah pantai yang kondisi ekosistem hutan payaunya baik akan menjadi subur karena pengaruh kualitas perairan payau yang kaya sumber nutrisi dari detritus yang berasal dari ekosistem hutan payau, hal itu tentu akan meningkatkan produktivitas tambak itu sendiri.
PUSTAKA :
  1. Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
  2. Kusmana & Istomo, 1995. Ekologi Hutan : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
  3. Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
  4. Richard & Steven, 1988. Forest Ecosystem : Academic Press. San Diego. California.
  5. Arief, A. 1994, Hutan Hakekat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia Jakarta.

Ekosistem .:: HUTAN PANTAI ::.


Tipe ekosistem hutan pantai terdapat di daerah-daerah kering tepi pantai dengan kondisi tanah berpasir atau berbatu dan terletak di atas garis pasang tertinggi. Di daerah seperti itu pada umumnya jarang tergenang oleh air laut, namun sering terjadi atau terkena angin kencang dengan embusan garam.
Spesies-spesies pohon yang pada umumnya terdapat dalam ekosistem hutan pantai antara lain Barringtonia asiatica, Terminalia catappa, Calophyllum inophyllum, Hibiscus tiliaceus, Casuarina equisetifolia, dan Pisonia grandis. Selain spesies-spesies pohon tersebut, temyata kadang-kadang terdapat juga spesies pohon Hernandia peltata, Manilkara kauki, dan Sterculia foetida.
Apabila dilihat perkembangan vegetasi yang ada di daerah pantai (litoral), maka sesungguhnya sering dijumpai dua formasi vegetasi, yaitu formasi Pescaprae dan formasi Barringtonia.

1. Formasi Pescaprae


Formasi ini terdapat pada tumpukan-tumpukan pasir yang mengalami proses peninggian di sepanjang pantai, dan hampir terdapat di selumh pantai Indonesia. Komposisi spesies tumbuhan pada formasi pescaprae di mana saja hampir sama karena spesies tumbuhannya didominasi oleh Ipomoea pescaprae (katang-katang) salah satu spesies tumbuhan menjalar, herba rendah yang akamya mampu mengikat pasir. Sebetulnya nama fomlasi pescaprae diambil dari nama spesies tumbuhan yang dominan itu. Akan tetapi, ada spesies-spesies tumbuhan lainnya yang umumnya terdapat pada formasi pescaprae antara lain Cyperus penduculatus, Cyperus stoloniferus, Thuarea linvoluta, Spinifex littoralis, Vitex trifolia, Ishaemum muticum, Euphorbia atoto, Launaca sarmontasa, Fimbristylis sericea, Canavalia abtusiofolia, Triumfetta repens, Uigna marina, Ipomea carnosa, Ipomoea denticulata, dan Ipomoea littoralis.

IPOMEA PRE-CASPREAE
Gambar 2. Ipomea Pescaprae (Irwanto, 2008)
Formasi ini terdapat di atas formasi pescaprae, yaitu pada daerah pantai persis di belakang formasi pescaprae yang telah memungkinkan untuk ditumbuhi berbagai spesies pohon khas hutan pantai.

2. Formasi Barringtonia



beach forest

Gambar. 3. Formasi Barringtonia (Irwanto, 2008)
Disebut formasi Barringtonia karena spesies tumbuhan yang dominan di daerah ini adalah spesies pohon Barringtonia asiatica. Sebenarnya yang dimaksud ekosistem hutan pantai adalah formasi Barringtonia ini. Beberapa spesies pohon yang tumbuh di pantai dan menyusun ekosistem hutan pantai antara lain Barringtonia asiatica, Casuarina equisetifolia, Terminalia eatappa, Hibiscus tiliaceus, Calophyllum inophyllum, Hernandia peltata, Sterculia foetida, Manilkara kauki, Cocos nucifera, Crinum asiaticum, Cycas rumphii, Caesalpinia bonducella, Morinda citrifolia, Oehrocarpus ovalifolius, Taeea leontopetaloides, Thespesia populnea, Tournefortia argentea, Wedelia biflora, Ximenia americana, Pisonia grandis, Pluehea indica, Pongamia pinnata, Premna Corymbosa, Premna obtusifolia, Pemphis acidula, Planchonella obovata, Scaevola taccada, Scaevola frutescens, Desmodium umbellatum, Dodonaea viscesa, Sophora tomentosa, Erythrina variegata, Guettarda speciosa, Pandanus bidur, Pandanus tectorius, dan Nephrolepis biserrata.
Pada daerah hutan pantai Pulau Marsegu Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku terdapat vegetasi hutan pantai di bagian timur didominasi Pongamia pinnata Merr, Cordia subcordata L, Calophyllum inophyllum L, Terminalia cattapa L, Premna corymbosa R.et W, Excoecaria agallocha L, Heritiera littoralis Aiton, Xylocarpus moluccensis Roem dan Cocos nucifera L, Premna corymbosa R et W, Terminalia cattapa L, Heritiera littoralis Aiton. dan Pemphis acidula Forst. Meskipun zone ini sering disebut zone Barringtonia tapi jenis Barringtonia asiatica Kurz hanya sedikit yang bisa ditemukan. Tumbuhan bawah yang berasosiasi adalah Ipomea pescaprae, Ipomea stolonifera, Canavalia rosea, Bauhinia tomentosa L, Amorphophallus campanulatus BL, dan Allium sp.
Berdasarkan tipe-tipe ekosistem hutan seperti yang telah diuraikan tersebut, tipe hutan hujan tropis di Indonesia merupakan tipe hutan yang paling luas diprakirakan mencapai 89% dari luas hutan Indonesia. Tipe ekosistem hutan hujan tropis juga merupakan salah satu kekayaan sumber daya alam dunia yang diprakirakan memiliki luas seluruhnya 900 juta hektar. Di samping itu, hutan hujan tropis merupakan hutan tropis yang paling produktif dan paling tinggi nilainya dari segi volume kayu yang ada maupun dari nilai flora dan fauna yang beranekaragam. Bahkan menurut hasil penelitian FAO diprakirakan 50% dari semua spesies flora dan fauna dunia hidup secara alamiah di hutan hujan tropis, sehingga nilai ekosistem hutan hujan tropis jauh lebih besar dari sekadar suatu plasma nutfah terbesar dunia yang sangat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bagi kehidupan manusia, dan bagi kesejahteraan manusia saat ini dan masa yang akan datang.
PUSTAKA :
  1. Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
  2. Kusmana & Istomo, 1995. Ekologi Hutan : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
  3. Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
  4. Richard & Steven, 1988. Forest Ecosystem : Academic Press. San Diego. California.
  5. Arief, A. 1994, Hutan Hakekat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia Jakarta.

Formasi Ekosistem Hutan


formasi ekosistem hutan

Formasi ekosistem hutan terjadi akibat pengaruh faktor lingkungan yang dominan terhadap pembentukan dan perkembangan komunitas dalam ekosistem hutan. Pengelompokan formasi hutan didasari oleh paham klimaks, yaitu komunitas akhir yang terjadi selama proses suksesi. Paham klimaks berkaitan dengan adaptasi tumbuh-tumbuhan secara keseluruhan mencakup segi fisiologis, morfologis, syarat pertumbuhan, dan bentuk tumbuhnya, sehingga kondisi ekstrem dari pengaruh iklim dan tanah akan menyebabkan efek adaptasi pohon serta tumbuh-tumbuhan lainnya menjadi nyata. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap bentuk susunan ekosistem hutan (formasi hutan).

Berdasarkan atas faktor lingkungan yang memiliki pengaruh dominan terhadap bentuk susunan komunitas atau ekosistem hutan, maka ekosistem hutan dikelompokkan ke dalam dua formasi, yaitu formasi klimafis dan formasi edafis. Formasi klimatis disebut juga formasi klimaks iklim, sedangkan formasi edafis disebut juga formasi klimaks edafis. Pengertian dari masing-masing formasi adalah sebagai berikut.
  1. Formasi klimatis adalah formasi hutan yang dalam pembentukannya sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur iklim, misalnya temperatur, kelembapan udara, intensitas cahaya, dan angin. Ekosistem hutan yang termasuk ke dalam formasi klimatis, yaitu hutan hujan tropis, hutan musim, dan hutan gambut (Santoso,1996; Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Menurut Schimper (1903 dalam Arief, 1994), ekosistem hutan yang termasuk ke dalam formasi klimatis, yailu hutan hujan tropis, hutan musim, hutan sabana, hutan duri, hutan hujan subtropis, hutan hujan temperate, hutan konifer, dan hutan pegunungan. Menurul Davy (1938 dalam Arief,1994), hutan-hutan yang termasuk ke dalam formasi klimatis adalah hutan hujan tropis, hutan semi hujan, hutan musim, hutan pegunungan atau hutan temperate, hutan konifer, hutan bambu atau hutan Gramineae berkayu, dan hutan Alpine.
  2. Formasi edafis adalah formasi hutan yang dalam pembentukannya sangat dipengaruhi oleh keadaan tanah, misalnya sifat-sifat fisika, sifat kimia, dan sifat biologi tanah, serta kelembapan tanah. Ekosistem hutan yang termasuk ke dalam formasi edafis, yaitu hutan rawa, hutan payau, dan hutan pantai. Schimper, 1903 dalam Arief, 1994 menyebutkan hutan-hutan yang termasuk ke dalam formasi klimatis mencakup hutan tepian, hutan rawa, hutan pantai, dan hutan mangrove. Menurut Davy (1938 dalam Arief, 1994) yang termasuk ke dalam kelompok formasi edafis, yaitu hutan riparian, hutan rawa, hutan mangrove, hutan pantai, hutan kering selalu hijau, hutan sabana, hutan palma atau hutan nipah, dan hutan duri. Hutan riparian (riparian forest) dianggap sebagai subtipe hutan hujan tropis, sedangkan hutan nipah (nipha forest) sering dianggap sebagai konsosiasi dari hutan payau atau hutan rawa; bergantung kepada faktor edafisnya.
PUSTAKA :
  1. Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
  2. Kusmana & Istomo, 1995. Ekologi Hutan : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
  3. Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
  4. Richard & Steven, 1988. Forest Ecosystem : Academic Press. San Diego. California.
  5. Arief, A. 1994, Hutan Hakekat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia Jakarta.

HABITAT DAN RELUNG


orang utan

Habitat, yaitu tempat dimana suatu makhluk hidup biasa diketemukan. Semua makhluk hidup mempunyai tempat hidup yang biasa disebut habitat. Untuk menemukan suatu organisme tertentu, perlu diketahui dulu tempat hidupnya (habitat), sehingga ke habitat itulah pergi mencari atau berjumpa dengan organisme tersebut. Semua organisme atau makhluk hidup mempunyai habitat atau tempat hidup. Contohnya, habitat paus dan ikan hiu adalah air laut, habitat ikan mujair adalah air tawar, habitat buaya muara adalah perairan payau, habitat monyet dan harimau adalah hutan, habitat pohon bakau adalah daerah pasang surut, habitat pohon butun dan kulapang adalah hutan pantai, habitat cemara gunung dan waru gununl; ndalah hutan Dataran tinggi, habitat manggis adalah hutan dataran rendah dan hutan rawa, habitat ramin adalah hutan gambut dan daerah dataran rendah lainnya, pohon-pohon anggota famili Dipterocarpaceae pada umumnya hidup di daerah dataran rendah, pohon aren habitatnya di tanah darat iInfaran rendah hingga daerah pegunungan, dan pohon durian luibitatnya di tartan darat dataran rendah.

Istilah habitat dapat juga dipakai untuk menunjukkan tempat tumbuh sekelompok organisme dari berbagai spesies yang membentuk suatu komunitas. Sebagai contoh untuk menyebut tempat hidup suatu padang rumput dapat menggunakan habitat padang rumput, untuk hutan mangrove dapat menggunakan isfilah habitat hutan mangrove, untuk hutan pantai dapat menggunakan habitat hutan pantai, untuk hutan rawa dapat menggunakan habitat hutan rawa, dan lain sebagainya. Dalam hal seperti ini, maka habitat sekelompok organisme mencakup organisme lain yang merupakan komponen lingkungan (komponen lingkungan biotik) dan komponen lingkungan abiotik.

Habitat suatu organisme itu pada umumnya mengandung faktor ekologi yang sesuai dengan persyaratan hidup organisme yang menghuninya. Persyaratan hidup setiap organisme merupakan kisaran faktor-faktor ekologi yang ada dalam habitat dan diperlukan oleh setiap organisme untuk mempertahankan hidupnya. Kisaran faktor-faktor ekologi bagi sefiap organisme memiliki lebar berbeda yang pada batas bawah disebut titik minimum, batas atas disebut titik maksimum, di antara titik minimum dan tifik maksimum disebut titik optimum. Ketiga titik tersebut dinamakan titik kardinal.




Setiap organisme mempunyai habitat yang sesuai dengan kebutuhannya. Apabila ada gangguan yang menimpa pada habitat akan menyebabkan terjadi perubahan pada komponen habitat, sehingga ada kemungkinan habitat menjadi tidak cocok bagi organisme yang menghuninya Jadi, apabila kondisi habitat berubah hingga di titik minimum dan maksimum (di luar kisaran faktor-faktor ekologi) yang diperlukan oleh setiap organisme di dalamnya, maka organisme itu dapat mati atau pindah (migrasi) ke tempat lain. Jika perubahan yang terjadi dalam habitat berjalan lambat, misalnya berjalan selama beberapa generasi, maka organisme yang menghuninya pada umumnya bisa menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru meskipun luas batas-batas semula. Melalui proses adaptasi (penyesuaian diri) tersebut lama-lama terbentuklah ras-ras baru yang mempunyai sifat berbeda dengan sebelumnya.

Habitat organisme bisa lebih dari satu tempat. Misalnya burung pipit mempunyai habitat di sawah untuk aktivitas mencari makan, juga mempunyai habitat di atas pepohonan untuk bertelur. Habitat ikan salem ketika dewasa adalah di laut, waktu akan bertelur pindah habitatnya di sungai, bahkan sampai ke hulu sungai. Ikan salem bertelur di hulu sungai dan anak yang telah ditetaskan akan tinggal bertahun-tahun di sungai, kemudian ketika memasuki fase dewasa ikan salem itu pindah habitat lagi ke laut.

Contoh lainnya adalah ikan arwana mempunyai habitat di air tawar dan ada pula yang di air payau. Habitat katak ketika dewasa adalah di darat, sedangkan ketika fase telur dan berudu berada di air tawar. Pohon ramin (Gonystylus bancanus) mempunyai habitat di hutan gambut juga di hutan-hutan daratan dengan tanah berpasir, ketinggian tempat 2-100 m dari permukaan laut. Pohon Matoa (Pometia pinnata) mempunyai habitat di pinggir sungai, juga di daerah yang bertanah liat, tanah pasir atau lempung di hutan daratan dataran rendah hingga di hutan pegunungan (ketinggian tempat kurang dari 1.700 m dpl.). Pohon kempas (Koompassia malaccensis) mempunyai habitat di hutan rawa, juga di hutan daratan dengan tanah liat atau pasir yang ketinggian tempatnya adalah 0-600 m dpl.

Di dalam habitat, setiap makhluk hidup mempunyai cara tertentu untuk hidup. Misalnya, burung yang hidup di sawah ada yang makan serangga, ada yang makan buah padi, ada yang makan katak, ada juga yang makan ikan. Cara hidup organisme seperti itu disebut relung atau niche.

Relung (niche) menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu organisme dalam ekosistem. Relung yaitu posisi atau status organisme dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu. Relung suatu organisme ditentukan oleh tempat hidupnya (habitat) dan oleh berbagai fungsi yang dikerjakannya, sehingga dikatakan sebagai profesi organisme dalam habitatnya. Profesi organisme menunjukkan fungsi organisme dalam habitatnya. Berbagai organisme dapat hidup bersama dalam satu habitat. Akan tetapi, jika dua atau lebih organisme mempunyai relung yang sama dalam satu habitat, maka akan terjadi persaingan. Makin besar kesamaan relung dari organisme-organisme yang hidup bersama dalam satu habitat, maka makin intensif persaingannya.

Sumber: http://ekologi-hutan.blogspot.com

KERUSAKAN EKOSISTEM | Membawa Dampak Negatif Bagi Lingkungan


Ekosistem hutan mengalami ancaman berupa penebangan hutan (deforestasi), fragmentasi dan konversi menjadi bentuk pemanfaatan lain. Berdasarkan data Bank Dunia 2001 diperkirakan bahwa kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,6 juta ha per tahun atau tiga ha per menit hingga dua juta ha per tahun. Jika penggundulan hutan terjadi secara terus menerus, maka akan mengancam spesies flora dan fauna dan merusak sumber penghidupan masyarakat. Pembukaan jalan dalam kawasan yang dilindungi lebih banyak membawa dampak negatif bagi lingkungan.
hutan mangrove bakau
Indonesia mempunyai lahan basah (termasuk hutan rawa gambut) terluas di Asia, yaitu 38 juta ha yang tersebar mulai dari bagian timur Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Maluku sampai Papua. Tetapi luas lahan basah tersebut telah menyusut menjadi kurang lebih 25,8 juta ha (Suryadiputra, 1994).

Penyusutan lahan basah dikarenakan berubahnya fungsi rawa sebesar 37,2 persen dan mangrove 32,4 persen. Luas hutan mangrove berkurang dari 5,2 juta ha tahun 1982 menjadi 3,2 juta ha tahun 1987 dan menciut lagi menjadi 2,4 juta ha tahun 1993 akibat maraknya konversi mangrove menjadi kawasan budi daya (Suryadiputra, 1994, Dahuri et al, 2001).

Luas terumbu karang Indonesia diduga berkisar antara 50.020 Km2 (Moosa dkk, 1996 dalam KLH,2002) hingga 85.000 Km2 (Dahuri 2002). Hanya sekitar 6 persen terumbu karang dalam kondisi sangat baik, diperkirakan sebagian terumbu karang Indonesia akan hilang dalam 10-20 tahun dan sebagian lainnya akan hilang dalam 20-40 tahun.

Rusaknya terumbu karang mempunyai dampak pada masyarakat pesisir, misalnya berkurangnya mata pencaharian nelayan kecil.
Kepunahan Spesies

Satu spesies diperkirakan punah setiap harinya (KMNLH, 1997). Inventarisasi yang dilakukan oleh badan-badan internasional, seperti International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) dapat dijadikan indikasi tentang keterancaman spesies. Pada 1988 sebanyak 126 spesies burung, 63 spesies binatang lainnya dinyatakan berada di ambang kepunahan (BAPPENAS, 1993).

Pada 2002, Red data List IUCN menunjukan 772 jenis flora dan fauna terancam punah, yaitu terdiri dari 147 spesies mamalia,114 burung, 28 reptilia, 68 ikan, 3 moluska, dan 28 spesies lainnya serta 384 spesies tumbuhan. Salah satu spesies tumbuhan yang baru-baru ini juga dianggap telah punah adalah ramin (Gonystylus bancanus). Spesies tersebut sudah dimasukkan ke dalam Appendix III Convention of International Trade of Endengered Species of Flora and Fauna (CITES).Sekitar 240 spesies tanaman dinyatakan mulai langka, diantaranya banyak yang merupakan kerabat dekat tanaman budidaya. Paling tidak 52 spesies keluarga anggrek (Orchidaceae) dinyatakan langka.

Kepunahan jenis di Indonesia terutama disebabkan oleh degradasi habitat (deforestasi, perubahan peruntukan lahan), bencana (kebakaran), eksploitasi secara tidak bijaksana (perburuan/pemanenan liar) dan masuknya spesies asing invasif serta perdagangan satwa liar.

Perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar Indonesia. Lebih dari 90 persen satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Lebih dari 20 persen satwa yang dijual di pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak. Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas diIndonesia, seperti orangután, penyu, beberapa jenis burung, harimau Sumatera dan beruang.

Semakin langka satwa tersebut semakin mahal pula harganya. Pada tahun 2002 sekitar 1.000 ekor orangutan diburu dari hutan Kalimantan untuk diperdagangkandan juga diselundupkan ke luar negeri. Menurut Yayasan Gibbon, jumlah orangutan di Indonesia saat ini sekitar 14.000 ekor. Di beberapa daerah, telah terjadi kepunahan lokal beberapa spesies, seperti lutung Jawa di beberapa daerah di Banyuwangi.

Untuk perdagangan penyu, dunia internasional telah memberikan perhatiannya sejak lima belastahun terakhir. Tahun 1990-an, beberapa lembaga internasional seperti Greenpeace telah mempublikasikan terjadinya perdagangan dan pembantaian ribuan penyu per tahun di Bali. Isu boikot pariwisata terhadap Bali pun mencuat sebagai respon dari kepedulian masyarakat internasional terhadap nasib malang penyu-penyu yang bebas diperdagangkan di Bali.

Kemudian isu boikot pariwisata Bali semakin mereda seiring dengan berjalannya waktu dan munculnya isu yang mengatakan bahwa perdagangan penyu di Bali telah menurun. Namun investigasi ProFauna Indonesia di tahun 1999 membuktikan bahwa perdagangan penyu di Bali masih berlangsung. ProFauna Indonesia mencatat ada sekitar 9000 ekor penyu yang diperdagangkan hanya dalam kurun waktu empat bulan, yaitu Mei hingga Agustus 2001.

Kemudian untuk jenis burung yang diperdagangkan sebanyak 47 persen burung paruh bengkok yang diperdagangkan adalah termasuk jenis yang dilindungi, antara lain Cacatua sulphurea, Cacatua gofini, Eclectus roratus, Lorius lory, dan Cacatua galerita. Jenis burung yang paling banyak diperdagangkan adalah Lorius lory.
nuri kepala hitam Lorius domicella


Sumber: http://ekologi-hutan.blogspot.com

Ekosistem .:: HUTAN MUSIM ::.



Ekosistem hutan musim merupakan ekosistem hutan campuran yang berada di daerah beriklim muson (monsoon), yaitu daerah dengan perbedaan antara musim kering dan basah yang jelas. Tipe ekosistem hutan musim terdapat pada daerah-daerah yang memiliki tipe iklim C dan D (tipe iklim menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson) dengan rata-rata curah hujan 1.000-2.000 mm per tahun dengan rata-rata suhu bulanan sebesar 21°-32°C.

Penyebaran lokasi ekosistem hutan musim meliputi wilayah negara-negara yang beriklim musim (monsoon), misalnya di India, Myanmar, Indonesia, Afrika Timur, dan Australia Utara. Di Indonesia, tipe ekosistem hutan musim berada di Jawa (terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur), di kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian.
Vegetasi yang berada dalam ekosistem hutan musim didominasi oleh spesies-spesies pohon yang menggugurkan daun di musim kering, sehingga type ekosistem musim disebut juga hutan gugur daun atau deciduous forest. Pada ekosistem hutan ini umumnya hanya memiliki satu lapisan tajuk atau satu stratum dengan tajuk-tajuk pohon yang tidak saling tumpang-tindih, sehingga masih banyak sinar matahari yang bisa masuk hutan sampai ke lantai hutan, apalagi pada saat sedang gugur daun. Hal ini memungkinkan tumbuh dan berkembangnya berbagai spesies semak dan herba yang menutup lantai hutan secara rapat, sehingga menyulitkan bagi orang untuk masuk ke dalam hutan.
Pada musim kering, mayoritas pepohonan di hutan musim menggugurkan semua daunnya, tetapi lamanya daun gugur bergantung kepada persediaan air dalam tanah, dan hal demikian itu dapat berbeda-beda antartempat dalam hutan yang sama. Sebagai contoh untuk tempat-tempat yang ada di pinggir sungai yang selalu ada cukup air, menyebabkan daun-daun pohon gugur secara bergantian, bahkan di sini tidak setiap spesies pohon menggugurkan semua daunnya. Pada akhir musim kering, banyak dijumpai pohon yang mulai berbunga. Transpirasi melalui bunga sangat kecil, sehingga tidak mengganggu keseimbangan air dalam tubuh tumbuhan. Kemudian setelah masuk musim hujan, pepohonan mampu memproduksi daun baru, buah, dan biji, sepanjang air tanah cepat tersedia bagi tumbuhan.
Bunga yang dihasilkan oleh pepohonan di hutan musim sering berukuran besar dan memiliki warna yang terang, dan berbeda jika dibandingkan dengan bunga yang dihasilkan oleh pepohonan di hutan hujan tropis (pohon yang selalu hijau = evergreen). Bunga pohon di hutan musim umumnya kelihatan pada bagian luar tajuk, sehingga sangat mudah dilihat oleh binatang atau serangga­serangga penyerbuk.
Spesies pepohonan yang ada pada ekosistem hutan musim antara lain Tectona grandis, Dalbergia latifolia, Acacia leucophloea, Schleieera oleosa, Eucalyptus alba, Santalum album, Albizzia chinensis, dan Timonius cerysus.
Menurut ketinggian tempat dari permukaan laut, hutan musim dibedakan menjadi dua zona atau wilayah sebagai berikut
  1. Zona 1 dinamakan hutan musim bawah karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 0-1.000 m dari permukaan laut.
  2. Zona 2 dinamakan hutan musim tengah dan atas karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 1.000-4.100 m dari permukaan laut.

1. Zona Hutan Musim Bawah
Spesies-spesies pohon yang merupakan ciri khas tipe ekosistem hutan musim bawah di daerah Jawa antara lain Tectona grandis, Acacia leucophloea, Aetinophora fragrans, Albizzia chinensis, Azadirachta indica, dan Caesalpinia digyna. Di kepulauan Nusa Tenggara dijumpai spesies-spesies pohon yang menjadi ciri khas hutan musim, yaitu Eucalyptus alba dan Santalum album, sedangkan spesies pohon khas hutan musim di Maluku dan Irian antara lain Melaleuca leucadendron, Eucalyptus spp., Corypha utan, Timonius cerycus, dan Banksia dentata.

2. Zona Hutan Musim Tengah dan Atas
Spesies pohon yang merupakan ciri khas ekosistem hutan musim tengah dan alas adalah sebagai berikut. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur terdapat pohon Casuarina junghuhniana sebagai spesies pohon dominan dan khas untuk tipe ekosistem hutan musim tengah dan atas. Hutan musim tengah dan atas di daerah Indonesia Timur mengandung spesies pohon khas untuk ekosistem tersebut, yaitu Eucalyptus spp. Adapun spesies pohon khas untuk hutan musim tengah dan alas di daerah Sumatra yaitu Pinus merkusii.

PUSTAKA :
  1. Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
  2. Kusmana & Istomo, 1995. Ekologi Hutan : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
  3. Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
  4. Richard & Steven, 1988. Forest Ecosystem : Academic Press. San Diego. California.
  5. Arief, A. 1994, Hutan Hakekat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia Jakarta.

HUTAN TANAMAN DAN EKOSISTEM UNGGUL


Pembangunan hutan tanaman sudah saatnya ditinjau kembali dalam upaya menciptakan hutan tanaman dengan ekosistem yang unggul. Ekosistem yang unggul merupakan ekosistem yang memiliki keseimbangan alami dan interaksi antara komponen ekosistem itu berjalan dengan baik walaupun ekosistem tersebut merupakan ekosistem buatan. Keseimbangan alami harus diupayakan tercipta pada hutan tanaman sehingga penurunan kualitas hutan tanaman maupun kualitas lingkungan dapat diatasi.

Membangun hutan tanaman dengan ekosistem yang mirip dengan hutan alam klimaks merupakan suatu upaya untuk mencegah terjadinya penurunan kualitas hutan maupun kualitas lingkungan. Untuk menciptakan hutan tanaman dengan ekosistem unggul maka ada beberapa aspek yang coba untuk diperhatikan dalam pembangunan hutan tanaman. Aspek-aspek tersebut antara lain struktur hutan, keragaman jenis, pemilihan jenis dan kondisi atau keadaan lahan.

1. Struktur Hutan
Menurut Marsono (2000b), atribut struktur hutan yang terdiri dari komponen komposisi jenis, stratifikasi tajuk, stratifikasi perakaran, diversitas, sebaran spatial dan lain-lain saling menentukan dengan atribut fungsional hutan seperti produktivitas, siklus hara, siklus hidrologi, erosi dan lain-lain dalam suatu ekosistem hutan. Dengan mendasarkan pengertian tersebut maka bila diinginkan atribut fungsional hutan yang baik seperti produktivitas dan stabilitas hutan (pelestarian hutan), diperlukan atribut struktural yang baik. Selanjutnya menurut Marsono (2000b), yang dimaksudkan atribut struktural yang baik sudah barang tentu didasarkan pada atribut struktural hutan klimaks pada tipe hutan itu, yang akan berbeda dengan tipe hutan yang lain. Hutan klimaks mempunyai metabolisme komunitas dengan rasio Scrodinger mendekati 1 (satu) yang berarti respirasi tinggi dan akhirnya stabilitas tinggi. Karena itu atribut struktural dari hutan klimaks seyogyanya diikuti. Jika tidak diikuti, maka stabilitas sistem menjadi rendah, dan bila diinginkan atribut fungsional yang baik harus dibayar mahal dengan memberikan input energi/biaya yang mahal pada sistem.
Belajar dari pengalaman selama ini bahwa pembangunan hutan tanaman dengan sistem monokultur kurang menguntungkan dari segi ekosistem. Menurut Sulthoni (1986), pada Hutan Tanaman Industri komposisi tegakan hutannya terdiri dari jumlah jenis yang terbatas bahkan seringkali monokultur, dalam keadaan yang demikian ekologinya cenderung untuk memacu peningkatan populasi hama penyakit seperti halnya yang terjadi pada ekosistem pertanian. Selain itu menurut Soedjito (1986), hutan tanaman monokultur kurang dapat memanfaatkan total energi matahari yang jatuh karena lapisan tajuknya hanya satu, selain itu juga tidak terjadi stratifikasi perakaran yang dapat menyebabkan kebocoran hara.
Pengalaman-pengalaman yang ada memberikan pelajaran bagi kita bahwa pembangunan hutan tanaman juga merupakan pembangunan ekosistem. Untuk menciptakan hutan tanaman dengan ekosistem unggul maka kondisi hutan klimaks harus menjadi pertimbangan dalam pembangunan hutan.. Menurut Gordon dan Forman (1983), pembuatan hutan tanaman bisa dirancang dengan cakupan ekologi lansekap, yaitu adanya perhatian pada interaksi di dalam dan di antar ekosistem.
Struktur hutan tanaman yang hendak dibangun harus dengan komposisi jenis yang bukan hanya terdiri dari satu jenis, tetapi harus ada beberapa jenis dan harus tercipta stratifikasi baik stratifikasi tajuk maupun stratifikasi perakaran. Hal ini dimaksudkan agar erosi semakin diperkecil dan juga peluang untuk kebocoran hara semakin kecil, seperti halnya yang terlihat pada gambar.


Gambar. Hutan Tanaman yang memiliki lebih dari satu Strata


Pada gambar terlihat hutan tanaman dengan tanaman pokok Jati dan tanaman penyerta adalah Acacia serta adanya tumbuhan bawah sebagai penutup tanah. Pada hutan tanaman memberi peluang untuk berlangsungnya siklus hara secara baik disamping itu kemungkinan erosi semakin diperkecil karena srata yang lebih dari satu.
Konsep suksesi yang dipercepat (accelerated succession), nampaknya merupakan konsep yang harus digunakan dalam membangun hutan tanaman khususnya pada pembangunan hutan di lahan kritis. Pada konsep ini pembangunan hutan pada lahan kritis atau lahan yang produktivitas rendah diawali dengan penanaman jenis-jenis legum pionir. Jenis ini akan berfungsi untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas tanah, selain itu jenis ini akan berfungsi sebagai penaung bagi tanaman pokok. Setelah tanaman pokok cukup umur maka legum pionir ini harus dijarangi agar tidak sampai menjadi klimaks karena akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Tumbuhan bawah pada mulanya harus mengalami perawatan yaitu dengan adanya penjarangan agar tumbuhan bawah ini tidak menjadi pengganggu bagi tanaman pokok, tetapi jika tanaman poko sudah cukup umur dan mampu bersaing dengan tumbuhan bawah, maka tumbuhan bawah ini dibiarkan saja untuk membentuk strata bawah dari hutan tanaman.

2. Keragaman Jenis.

Menurut Marsono (2000b), pada dasarnya adalah kewajiban untuk membentuk sistem yang tidak monokultur dan atau mempunyai bentang wilayah yang juga tidak homogen yang sesuai dengan ekosistem setempat. Unit hutan tanamn hendaknya terdiri atas beberapa jenis. Komposisi jenis ini bisa diatur berdasarkan hasilnya dengan memperhatikan fenomena perawakan, tipe arsitektur dan fenologinya.
Tanaman campuran ini, slain memperkecil resiko serangan hama penyakit, juga dapat mempertinggi hasil. Gordon dan Dawson (1979) dalam Soedjito (1986) membuktikan bahwa hutan campuranmemberikan hasil lebih besar daripada tegakan murni. Gadgil (1971) melalui hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jenis Lupinus arboreus yang banyak kandungan Nitrogen pada daunnya ternyata memberikan dampak kenaikan hasil Pinus radiata bila ditanam secara bersamaan. Hal ini berarti adanya interaksi yang positif antara kedua tanaman.
Dalam kawasan yang cukup luas pembangunan hutan tanaman bisa dipadu antara beberapa unit yang tiap unitnya terdiri atas berbagai jenis. Penyebaran unit-unit ini bisa diatur berselang seling menurut medan dan kondisi lingkungannya. Seperti halnya konsep yang dibuat oleh Pickett dan Thomson (1978) dalam desain cagar alam maupun oleh Kumala (2004) dalam pembangunan konservasi Pseudo in-situ jenis target Dipterocarpaceae. Tujuan akhir dari desain ini adalah memperbanyak ekoton, agar heterogenitasnya meningkat. Hakekat dari usulan ini adalah membuat hutan tanaman sealami mungkin. Hutan campuran walaupun buatan kalau dikelola dengan baik akan seperti hutan alam yang masih dekat dengan ekosistem yang tak terganggu.


3. Pemilihan Jenis
Pemilihan jenis merupakan satu hal yang riskan dalam pembangunan hutan tanaman. Jenis-jenis asli mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan dan memperkecil resiko serangan hama dan penyakit yang eksplosif. Beberapa jenis bahkan oleh masyarakat telah dibudidayakan secara tradisional sehingga pengembangan menjadi hutan tanaman Industri lebih mudah. Seperti yang dilaporkan oleh Soedjito dan kawan-kawan (1986), penduduk pulau Seram dengan terampil memelihara hutan damar (Agathis dammara) yang sebagian besar diantaranya adalah hasil budidaya begitu juga dengan jenis kenari babi (Canarium decumanum) juga telah dibudidayakan dalam skala pedesaan.
Pengalaman pembangunan hutan tanaman di Indonesia selama ini lebih mengandalkan jenis yang diintroduksi dari luar dibandingkan dengan jenis asli setempat, karena masalah produktivitas secara ekonomi. PT. Artika Optima Inti di pulau Seram bagian Barat tahun 1980-an hingga tahun 1990-an telah mencoba mengembangkan Hutan Tanaman Industri yang terdiri dari berbagai jenis, dan mengandalkan jenis asli setempat seperti Agathis (Agathis dammara), Meranti merah (Shorea selanicca), sengon atau salawaku (Albizia falcata), maupun angsana (Pterocarpus indicus). Tetapi ternyata walaupun kegiatan Hutan Tanaman Industri turut didukung oleh masyarakat sekitar karena adanya jenis-jenis setempat yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat namun hasilnya tidak dilirik oleh industri perkayuaan, bahkan hasil panen dibiarkan begitu saja. Dari segi ekosistem Hutan Tanaman Industri ini cukup baik karena bukan sistem monokultur ada beberapa jenis yang ditanam berselang-seling dan juga dengan umur yang berbeda-beda, keseimbangan alami cukup tercipta di sini, hal ini ditandai gangguan-gangguan yang sangat kurang bahkan hampir tidak ada.
Pemilihan jenis setempat dalam pembangunan hutan tanaman selain mengurangi resiko gangguan pada hutan, jenis setempat juga secara cepat mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan setempat. Dengan demikian jenis setempat harus menjadi prioritas dalam pemilihan jenis untuk membangun hutan tanaman. Namun sampai saat ini domestikasi pohon untuk memperkenalkan jenis-jenis setempat kurang dilakukan sehingga jenis-jenis eksotik atau jenis yang diintroduksi yang lebih menjadi prioritas dalam pembangunan hutan tanaman.

4. Keadaan Lahan
Pertimbangan keadaan lahan juga penting dalam pembangunan hutan tanaman. Menurut Marsono (2000b), dalam jangka panjang harus sudah dimulai pengelolaan hutan berdasarkan kesesuaian lahan, membentuk unit-unit ekologis berdasarkan kaidah ekosistem yang mempunyai respons yang sama baik dalam produktivitas maupun jasa lingkungan.



Gambar. Pembuatan Terras dalam Pembangunan Hutan

Pembangunan hutan tanaman pada lahan dengan topografi berlereng curam aspek konservasi tanah harus disertakan seperti yang terlihat pada gambar. Aspek mekanis dan biologis dalam konservasi tanah harus diperhatikan, seperti pembuatan terras, guludan maupun penanaman vegetasi penutup tanah. Hal ini kalau tidak diperhatikan maka akan menimbulkan masalah dalam pengelolaan hutan seperti terjadinya erosi yang berdampak pada penurunan produktivitas lahan dan pendangkalan pada sungai yang berada di bawahnya. Pembangunan terras maupun jenis terras disesuaikan dengan kelerengan.
Aspek-aspek pengelolaan DAS juga perlu diperhatikan dalam pembangunan hutan tanaman pada suatu DAS. Pembangunan hutan tanaman di daerah hulu hendaknya tidak menyebabkan ktidakseimbangan yang terjadi pada daerah hilir.
Pada lahan kritis seperti yang telah dijelaskan terdahulu maka konsep suksesi yang dipercepat (acclerated succession) harus menjadi perhatian. Upaya peningkatan kualitas lahan dengan menananm jenis-jenis yang mampu memperbaiki kalitas lahan seperti jenis-jenis legum perlu menjadi perhatian. Jenis-jenis legum memiliki kemampuan untuk bersimbiosis dengan bakteri pengikat N sehingga Nitrogen tanah menjadi meningkat, selain itu daun-daun jenis legum ini cepat mengalami dekomposisi sehingga memberikan sumbangan yang cepat dalm penyediaan bahan organik tanah.

Sumber: http://ekologi-hutan.blogspot.com

Selasa, 19 Maret 2013

Definisi Plasma Nutfah


 Definisi Plasma Nutfah

Masa organisme (flora dan fauna) yang masih membawa sifat sifat genetik asli. Plasma Nutfah merupakan substansi yang mengatur perilaku kehidupan secara turun termurun, sehingga populasinya mempunyai sifat yang membedakan dari populasi yang lainnya. Perbedaan yang terjadi itu dapat dinyatakan, misalnya dalam ketahanan terhadap penyakit, bentuk fisik, daya adaptasi terhadap lingkungannya dan sebagainya.
Sedangkan menurut Pengertian atau Definsi yang terdapat pada Kamus Pertanian adalah substansi sebagai sumber sifat keturunan yang terdapat di dalam setiap kelompok organisme yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan atau dirakit agar tercipta suatu jenis unggul atau kultivar baru.
Dari Pengertian dan Definisi tersebut dapat dilihat bahwa negara Indonesia memiliki plasma nutfah yang sangat besar, keanekaragaman jenis yang besar. Luasnya daerah wilayah penyebaran spesies, menyebabkan spesies-spesies tersebut menjadikan keanekaragaman plasma nutfah cukup tinggi. Masing-masing lokasi dengan spesies-spesies yang khas karena terbentuk dari lingkungan yang spesifik.

nasalis
Beraneka Fauna
Eksistensi beberapa plasma nutfah menjadi rawan dan langka, bahkan ada yang telah punah akibat pemanfaatan sumber daya hayati dan penggunaan lahan sebagai habitatnya. Semua ini disebabkan oleh perbuatan manusia. Kebijakan pembangunan yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan pun turut berperan dalam proses kepunahan plasma nutfah tersebut. Dengan semakin banyaknya permasalahan konservasi plasma nutfah terutama di daerah-daerah rawan erosi plasma nutfah perlu penanganan permasalahan tersebut tidak mungkin hanya ditangani Komisi Nasional Plasma Nutfah.

miracle tree
Beraneka Flora
Masalah lain yang tidak kalah penting adalah perangkat hukum tentang pengamanan hayati. Para pakar sangat mendukung upaya penyusunan peraturan hukum tentang pengamanan hayati, sesuai komitmen Protokol Cartagena 2000. Namun rancangan undang-undang (RUU) tersebut hendaknya diintegrasikan dan selaras dengan UU tentang pelestarian plasma nutfah.

Sumber: http://pengertian-definisi.blogspot.com

PEMILIHAN JENIS POHON AGROFORESTRI



Petani menanaman pohon karena dua alasan, yaitu untuk produksi dan pelayanan (servis). Untuk produksi artinya untuk bahan bangunan, kayu bakar, obat-obatan dll. Sedangkan yang bersifat pelayanan adalah untuk pengendalian erosi, meningkatkan kesuburan, memperbaiki struktur tanah, konservasi biodiversitas dan tentu saja untuk penyimpanan karbon dan mengurangi efek rumah kaca. Menurut Suryanto et al (2005), Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan jenis untuk ditanam:
1. Tujuan penanaman
2. Jenis potensial dan tersedia
3. Jenis yang bisa tumbuh di lokasi
Tujuan penanaman misalnya :
1. Untuk penghara industri
2. Untuk pemanfaatan domestik
3. Perlindungan lingkungan
4. Bagian integral pembangunan pedesaan.
Dalam pemilihan dan penanaman jenis pohon dalam agroforestri dikenal istilah ”Domestikasi Pohon”. Domestikasi pohon agroforestri adalah usaha percepatan dan evolusi yang dipengaruhi oleh manusia yang membawa jenis-jenis tertentu ditanam secara luas melalui kebutuhan petani atau proses arahan pasar. Domestikasi pohon meliputi serangkaian kegiatan-kegiatan eksplorasi dan pengumpulan populasi genetik alam atau antropogenik, evaluasi dan seleksi jenis dan provenan yang sesuai, pengembangan teknik pengelolaan, pemanfaatan dan pemasaran hasi pohon dan pembangunan dan penyebaran
informasi teknis (Suryanto et al, 2005).
Dalam sistem agroforestri pohon-pohonan memberikan penutup secara permanen, dengan demikian dapat lebih banyak menggunakan energi matahari. Pohon-pohonan dapat memperkaya tanah dengan seresah yang gugur diatasnya, dan dapat juga merubah iklim mikro. Keuntungan-keuntungan lainnya yang bisa didapat dengan penanaman pohon-pohonan:
1. memberikan diversifikasi hasil. Disamping buah dapat juga dimanfaatkan kayunya
2. memberikan jaminan terhadap kegagalan hasil, kerena pohon-pohonan merupakan “modal berdiri’
3. berpengaruh baik terhadap tata air
4. mengurangi terjadinya suhu-suhu ekstrim, baik di udara,dalam tanah, dan dalam batang dan daun, sehingga meningkatkan produktivitas tanaman pertanian
5. dapat mengurangi kerusakan-kerusakan terhadap tanaman pertanian yang disebabkan oleh hujan yang deras


Peningkatan produktivitas sistem agroforestri dapat dilakukan melalui diversifikasi hasil dari komponen yang bermanfaat, dan menurunkan jumlah masukan atau biaya produksi. Contoh upaya penurunan masukan dan biaya produksi yang dapat diterapkan dalam sistem agroforestri: Penggunaan pupuk nitrogen dapat dikurangi dengan pemberian pupuk hijau dari tanaman yang
bersimbiosis dengan bakteri penambat nitrogen.
Kandungan nitrogen di udara sebanyak ± 78%, tetapi nitrogen ini tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh tanaman. Tanaman tertentu bersimbiosis dengan bakteri penambat Nitrogen Rhizobium dan Frankia yang mampu mengikat nitrogen dari udara dan menyediakannya bagi kebutuhan tanaman.
Beberapa Jenis pohon yang bersimbiosis dengan bakteri penambat
nitrogen adalah: Acacia auriculiform, Acacia mangium, Paraserianthes falcataria, Casuarina equasetifolia, Erythrina variegata L, Intsia bijuga, Intsia palembanica,
Intsia ambonensis, Tamarindus indicus Linn, Pterocarpus indicus Willd, Inocarpus fagifer, Pongamia pinnata, Gliricidia sepium dan Leucaena leucocephala.
Di samping jenis yang bersimbiosis dengan bakteri penambat nitrogen, jenis-jenis lain seperti Artocarpus elasticus, Artrocarpus interger, Anthocephalus chinensis, Urophyllum polyneurum, Macaranga gigantea, dan Macaranga winkleri adalah sumber-sumber nitrogen yang baik, karena daunnya berkadar nitrogen yang tinggi.
Kadar phosphorus yang tinggi terdapat pada daun Artocarpus interger, Anthocephalus chinensis, Cananga odorata, Lindera lucida, Nephelium lappaceum, Pithecellobium microcarpum dan Symplocos fasciculata sedangkan potassium dengan kadar tinggi terdapat pada daun Artocapus elasticus, Artocarpus interger, Bridelia glauca, Eusideroxylon zwageri, Lindera lucida, Nauclea orientalis, Payena lucida dan Saurauia subcordata.
Kadar calcium yang tinggi didapat pada Artocarpus elasticus, Bridelia gluaca, Cananga odorara, Cratoxylum sumatranum, Duabanga molucanna dan Symplocos fasciculata, sedangkan kadar magnesium yang tinggi didapat pada Cananga odorata, Macaranga gigantea, Macaranga winkleri, Saurania subcordata dan Symplocos fasciculata. Jenis- jenis ini dapat digunakan untuk memperbaiki tanah-tanah rusak/kritis.


Sumber: http://irwantoforester.wordpress.com