Hutan mangrove atau
dikenal juga dengan sebutan hutan bakau berada di kawasan pinggiran
pantai dan laut. Hutan mangrove memiliki banyak manfaat bagi makhluk
hidup yang ada di sekitarnya. Indonesia memiliki potensi sumber daya
mangrove yang sangat luas, bahkan terluas di dunia, yang bila dikelola
dengan baik diharap akan memberi manfaat besar bagi kehidupan makhluk
hidup di sekitarnya. Akan tetapi, saat ini kondisi hutan mangrove
Indonesia mengalami kerusakan dan pengurangan luas secara cepat.
Hutan
mangrove merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan suatu
varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies
pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk
tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan
semak yang tergolong ke dalam 8 famili dan terdiri atas 12 genera
tumbuhan berbunga, yaitu Avicenia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera,
Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan
Conocarpus .
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki hutan
mangrove dengan keanekaragaman jenis yang tinggi. Tercatat terdapat 202
jenis yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana
dan 44 jenis epifit. Merujuk hasil identifikasi Dirjen Rehabilitasi
Lahan dan Perhutanan Sosial tahun 1999, luas keseluruhan hutan bakau di
Indonesia sekitar 8,6 juta hektar, terdiri atas 3,8 juta hektar di dalam
kawasan hutan dan 4,8 hektar di luar kawasan hutan. Kerusakan hutan
bakau di dalam kawasan hutan 1,7 hektar atau sekitar 44,73 persen dan
kerusakan di luar kawasan hutan 4,2 juta hektar atau sekitar 87,50
persen.
Disadari atau tidak, disengaja atau tidak, sejak beberapa tahun
belakangan hingga sekarang, perusakan ekosistem laut masih tetap
berlangsung. Kerusakan secara umum hutan mangrove sudah mulai terusik
dengan dampak pembangunan yang tidak berlandaskan wawasan lingkungan,
sehingga kerusakan mangrove makin memprihatinkan.
Penebangan hutan bakau lebih banyak disebabkan oleh ketidaktahuan petani
nelayan (petambak) yang berpikir bahwa kerindangan dedaunan bakau
menghalangi masuknya sinar matahari dan mengurangi luas areal untuk
lahan tambak. Ekspansi pembangunan dan pengoperasian tambak yang tidak
terkontrol menempatkan sumber hayati hutan bakau yang tumbuh sepanjang
81 ribu kilometer perairan pantai Indonesia terancam kepunahan.
Penyebab makin terusik dan terancamnya keberadaan hutan bakau adalah
akibat ekstensifikasi pertambakan di beberapa kawasan di Indonesia
termasuk di Sumatera Utara, banyaknya hutan mangrove yang beralih fungsi
menjadi pemukiman penduduk. Masih banyak masyarakat kita yang tinggal
di sekitar kawasan hutan mangrove tidak menyadari bahwa fungsi dan
manfaat hutan mangrove sangat penting bagi kehidupan mahluk hidup
disekitarnya.
Secara fisik hutan mangrove menjaga garis pantai agar tetap stabil,
melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi laut
serta sebagai perangkap zat-zat pencemar dan limbah, mempercepat
perluasan lahan, melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan
dan gelombang serta angin kencang, mencegah intrusi garam (salt
intrution) ke arah darat; mengolah limbah organik, dan sebagainya.
Hutan mangrove mampu meredam energi arus gelombang laut, keberadaan
hutan mangrove juga dapat memperkecil gelombang tsunami yang menyerang
daerah pantai. Rumpun bakau (Rhizophora) memantulkan, meneruskan, dan
menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi
gelombang tsunami ketika menjalar melalui rumpun tersebut.
Vegetasi mangrove juga dapat menyerap dan mengurangi pencemaran
(polutan). Jaringan anatomi tumbuhan mangrove mampu menyerap bahan
polutan, misalnya seperti jenis Rhizophora mucronata dapat menyerap 300
ppm Mn, 20 ppm Zn, 15 ppm Cu, dan pada daun Avicennia marina terdapat
akumulasi Pb ³ 15 ppm, Cd ³ 0,5 ppm, Ni ³ 2,4 ppm. Selain itu, hutan
mangrove dapat mengendalikan intrusi air laut, yakni percepatan intrusi
air laut di pantai Jakarta meningkat dari 1 km pada hutan mangrove
selebar 0,75 km menjadi 4,24 km pada areal tidak berhutan.
Secara biologi hutan mangrove mempunyai fungsi sebagai daerah berkembang
biak (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), dan mencari
makanan (feeding ground) untuk berbagai organisme yang bernilai ekonomis
khususnya ikan dan udang. Habitat berbagai satwa liar antara lain,
reptilia, mamalia, hurting dan lain-lain. Selain itu, hutan mangrove
juga merupakan sumber plasma nutfah.
Mangrove sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di
sekitarnya. Tercatat sekitar 67 macam produk yang dapat dihasilkan oleh
ekosistem hutan mangrove dan sebagian besar telah dimanfaatkan oleh
masyarakat, misalnya untuk bahan bakar (kayu bakar, arang, alkohol),
bahan bangunan (tiang-tiang, papan, pagar); alat-alat penangkapan ikan
(tiang sero, bubu, pelampung, tanin untuk penyamak); tekstil dan kulit
(rayon, bahan untuk pakaian, tanin untuk menyamak kulit), makanan,
minuman dan obat-obatan (gula, alkohol, minyak sayur, cuka), peralatan
rumah tangga (mebel, lem, minyak untuk menata rambut), pertanian (pupuk
hijau), chips untuk pabrik kertas dan lain-lain.
Hutan mangrove juga berperan dalam pendidikan, penelitian dan
pariwisata. Bahkan menurut FAO (1982), di kawasan Asia dan Pasifik,
areal mangrove juga digunakan sebagai lahan cadangan untuk transmigrasi,
industri minyak, pemukiman dan peternakan. Dari kawasan hutan mangrove
dapat diperoleh tiga macam manfaat. Pertama, berupa hasil hutan, baik
bahan pangan maupun bahan keperluan lainnya. Kedua, berupa pembukaan
lahan mangrove untuk digunakan dalam kegiatan produksi baik pangan
maupun non-pangan serta sarana/prasarana penunjang dan pemukiman.
Manfaat ketiga berupa fungsi fisik dari ekosistem mangrove berupa
perlindungan terhadap abrasi, pencegah terhadap rembesan air laut dan
lain-lain fungsi fisik.
Ekosistem hutan mangrove memiliki produktivitas yang tinggi.
Produktivitas primer ekosistem mangrove ini sekitar 400-500 gram
karbon/m2/tahun adalah tujuh kali lebih produktif dari ekosistem
perairan pantai lainnya. Kerusakan mangrove akan berdampak
pada/penurunan volume dan keragaman jenis ikan yang ditangkap (56,32%
jenis ikan menjadi langka sulit didapat, dan 35,36% jenis ikan menjadi
hilang/tidak pernah lagi tertangkap).
Oleh karenanya, ekosistem mangrove mampu menopang keanekaragaman jenis
yang tinggi. Daun mangrove yang berguguran diuraikan oleh fungi, bakteri
dan protozoa menjadi komponen-komponen bahan organik yang lebih
sederhana (detritus) yang menjadi sumber makanan bagi banyak biota
perairan (udang, kepiting dan lain-lain.
Melihat kondisi hutan mangrove di beberapa kawasan di Indonesia makin
memprihatinkan, pemerintah, LSM dan masyarakat harus bahu membahu untuk
melestarikannya. Atau paling tidak mempertahankan hutan bakau yang masih
ada dan bisa diselamatkan dari kemusnahan.
Upaya penyelamatan hutan bakau dari kerusakan yang semakin parah, LSM,
pemerintah dan masyarakat perlu melakukan kampanye (sosialisasi)
penyelamatan. Atau bisa juga dengan pengenalan dan menyamakan persepsi
sekaligus untuk memperoleh masukan dalam rangka perbaikan konsep dan
pelaksanaan program penyelamatan, maka sosialisasi harus terus
dilakukan.
Upaya sosialisasi penyelamatan hutan mangrove juga perlu disampaikan ke
sekolah-sekolah (generasi penerus) untuk penyadaran bahwa upaya
penyelamatan hutan bakau hari ini bisa memberi manfaat ke anak cucu
mereka di kemudian hari.
Referensi: Harian Analisa--SUMUT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar