SUMATERA bukan hanya Pulau Emas yang menyimpan eksotisme. Melalui penelusuran naskah-naskah klasik, Anthony Reid menggambarkan dalam Witness to Sumatera, A Travellers‘ Anthology (1995) tentang sebuah pulau bersejarah sejak abad ke-9. Sumatera adalah “kerajaan yang terlupa‘ (the forgotten kingdom)-- istilah Friedrich Schnitger, seorang arkeolog Jerman ketika mencari situs-situs kuno pada 1935-an.
Menurut Reid, Sumatera menjadi pulau pertama yang ditemukan Eropa di
Asia Tenggara, tapi juga menjadi pulau terakhir yang ditinggalkan.
Kekayaan alam dan misteri kebudayaan masyarakatnya tidak dapat
dibandingkan dengan Jawa yang relatif “homogen‘ atau Papua yang masih
“gelap‘.
Ada kisah perseteruan raja-raja yang
berlangsung hingga Indonesia terbentuk. Ada konstruksi parasitisme
antaretnik yang kemudian menjadi stereotipe kultural, seperti hubungan
masyarakat Melayu dengan Batak, Aceh dengan Gayo, masyarakat asli
primitif yang konservatif dengan pendatang “beradab‘ yang berwatak
ekspansif, dan sebagainya.
Ratusan pelawat,
antropolog dan penguasa militer besar pernah hadir di “Sumutrah‘. Mulai
dari Marcopolo, Ibn Batutah, Frederic de Houtman, Sir Thomas Stamford
Raffles, hingga Denys Lombard dan A Teeuw yang baru meninggal 18 Mei
lalu. Kini, Sumatera semakin genting, jinak, dan tidak bermisteri karena
kerusakan alam dan hutannya.
Hutan Terakhir
Setelah hutan-hutan rawa dan gambut Kalimantan hancur oleh pertambangan
dan perkebunan, giliran hutan-hutan Sumatera menunggu takdir kematian.
Hampir tak ada status hutan yang kebal eksploitasi, mulai kawasan
konservasi, hutan lindung, hutan produksi atau taman nasional. Semua
terparut oleh politik pembegalan kayu (legal dan ilegal), perkebunan,
dan penambangan yang terjadi secara meluas tanpa kebijaksanaan politik
dan etik.
Perusakan semakin menemukan jalan sempurna
sejak diberlakukan peraturan yang membolehkan tambang di wilayah hutan
lindung (Perpu No 1/2004 kemudian berubah menjadi UU No 19/2004 tentang
(eksploitasi) hutan). Perusakan hutan nasional semakin tidak terkendali
di masa Orde Baru.
Di bawah UU No 11/1967,
“kedaulatan negara‘ meluas hingga ke wilayah hutan. Hutan diadministrasi
oleh negara sekaligus meminggirkan hak ulayat masyarakat adat dan
terasing. “Hutan bukan lagi tanah Allah, tapi menjadi milik Soeharto
oleh selembar surat‘, ungkapan satir seorang petani tradisional Aceh,
seperti ditulis oleh antropolog asal Australia, John McCarthy, The Fourth Circle: A Political Ecology of Sumatera‘s Rain Forest Frontier (2006).
Di era reformasi, Undang-Undang Kehutanan (UU No 41/1999) tidak kuasa
menghentikan nafsu “demokratisasi ekonomi hutan‘. Sumber hijau semakin
tidak terkendali rusaknya (sebagian besar oleh perselingkuhan penguasa
dengan pengusaha, dari level menteri hingga bupati). Ini bisa dilihat
dari nasib hutan-hutan yang telah dilegalisasi. Nasib Kawasan Ekosistem
Leuseur (KEL), misalnya.
Kawasan konservasi
terpenting dan pengikat karbon utama Asia Tenggara itu telah rusak
parah. Luas KEL 2,2 juta hektare kini hanya legenda. Dari penelitian
Walhi disebutkan, 55 persen wilayah KEL telah rusak parah. Harimau
Sumatera kini tinggal puluhan, seperti juga habitat gajah yang tinggal
400 ekor. Selama tiga tahun terakhir rata-rata setiap tahun 40 ekor
gajah mati diracun oleh PTPN di Sumatera.
Hutan-hutan
teras lainnya di Sumatera ikut menggundul. Hutan Jambi seluas 2,2 juta
hektare pada tahun 2000 kini tinggal 500 ribu hektare saja. Hutan
Lampung seluas 1,04 juta hektare, 65 persennya dalam kondisi rusak.
Hutan Bengkulu seluas 45.345 hektare kini tinggal 27.262 hektare atau
tinggal 61 persen.
Pada masa pemerintahan damai
Irwandi-Nazar, nasib hutan-hutan Aceh tidak semakin membaik. Meski visi
penyelamatan lingkungan dengan semboyan Aceh Green terpampang besar-besar, yang terjadi malah “Aceh Greed‘
(baca : keserakahan). Aneka izin tambang dikeluarkan dan menyakiti
lingkungan dan masyarakat hutan. Belum lagi praktik sawitisasi dengan
izin yang cukup mudah dikeluarkan bupati.
Penghancuran Sistematis
Saat ini, menurut data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh
tahun 2011, 351 ribu hektare lahan di Aceh dalam status konsesi untuk
lahan perkebunan dengan 236 izin hak guna usaha (HGU). Total 745 ribu
hektare telah beralih fungsi menjadi wilayah pertambangan.
Perusakan yang membuka tutupan hutan itu telah menjadi momentum
katastrofi akut. Hancurnya hutan primer seperti kawasan Leuseur, Ulu
Masen, Kuala Unga, dan kasus terakhir rawa gambut Kuala Tripa, Aceh,
menunjukkan buruknya pengelolaan hutan Aceh. Foto-foto kehancuran hutan
perawan itu menyobek hati dan pikiran ribuan masyarakat yang
menggantungkan hidup mereka pada faktor ekologis.
Horror vacuui
hutan Sumatera diperkirakan tidak akan berhenti. Kebijakan negara
menyelamatkan hutan-hutan tersisa masih sloganistik, seremonial
(penanaman semiliar pohon, tapi tidak ada pemantauan berapa banyak yang
masih hidup), dan elitis. Ia hanya menjadi ritual palsu yang tidak
dirasakan masyarakat pedalaman Sumatera.
Kerusakan
hutan jelas mempengaruhi aspek sosial, kultural, etnik, ekonomis, dan
ekologis. Semakin banyak masyarakat di perdesaan bergantung hidup pada
air kemasan--sesuatu yang tidak pernah dibayangkan 10-20 tahun lalu.
Semakin susah petani mendapatkan kualitas hasil pertanian akibat
degradasi lingkungan.
Kerusakan ini bukan semata
masalah libido ekonomis. Ada perubahan praktik politik begitu cepat dari
otoriterisme ke demokrasi yang tidak berjalan mulus. Demikian pula
kronisme dan ketakcakapan pemerintahan mengelola hutan ikut mempercepat
pengrusakan hutan.
Tanpa kompromi, hak ulayat
masyarakat harus dikembalikan. Semangat konsitusi “digunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat‘ harus bisa diterjemahkan secara legal
dan sosietal. Masyarakat harus menghitung apakah pemerintah benar
menggunakan hutan demi kesejahteraan sosial atau menghamba bagi
kepentingan korporatisme/individual.
Jika tidak, layak dipikirkan kembali nasihat James C Scott (1985), membangun perlawanan harian (everyday forms of resistance),
agar pemerintah insyaf dan mengembalikan hak hutan kepada rakyat.
Daulat rakyat atas hutan adat mesti dikedepankan di tengah jahatnya
neoliberalisme pengelolaan hutan, termasuk di Sumatera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar