Rabu, 13 Februari 2013

Mengubur Hutan Sumatera

SUMATERA bukan hanya Pulau Emas yang menyimpan eksotisme. Melalui penelusuran naskah-naskah klasik, Anthony Reid menggambarkan dalam Witness to Sumatera, A Travellers‘ Anthology (1995) tentang sebuah pulau bersejarah sejak abad ke-9. Sumatera adalah “kerajaan yang terlupa‘ (the forgotten kingdom)-- istilah Friedrich Schnitger, seorang arkeolog Jerman ketika mencari situs-situs kuno pada 1935-an.

Menurut Reid, Sumatera menjadi pulau pertama yang ditemukan Eropa di Asia Tenggara, tapi juga menjadi pulau terakhir yang ditinggalkan. Kekayaan alam dan misteri kebudayaan masyarakatnya tidak dapat dibandingkan dengan Jawa yang relatif “homogen‘ atau Papua yang masih “gelap‘.

Ada kisah perseteruan raja-raja yang berlangsung hingga Indonesia terbentuk. Ada konstruksi parasitisme antaretnik yang kemudian menjadi stereotipe kultural, seperti hubungan masyarakat Melayu dengan Batak, Aceh dengan Gayo, masyarakat asli primitif yang konservatif dengan pendatang “beradab‘ yang berwatak ekspansif, dan sebagainya.

Ratusan pelawat, antropolog dan penguasa militer besar pernah hadir di “Sumutrah‘. Mulai dari Marcopolo, Ibn Batutah, Frederic de Houtman, Sir Thomas Stamford Raffles, hingga Denys Lombard dan A Teeuw yang baru meninggal 18 Mei lalu. Kini, Sumatera semakin genting, jinak, dan tidak bermisteri karena kerusakan alam dan hutannya.

Hutan Terakhir

Setelah hutan-hutan rawa dan gambut Kalimantan hancur oleh pertambangan dan perkebunan, giliran hutan-hutan Sumatera menunggu takdir kematian. Hampir tak ada status hutan yang kebal eksploitasi, mulai kawasan konservasi, hutan lindung, hutan produksi atau taman nasional. Semua terparut oleh politik pembegalan kayu (legal dan ilegal), perkebunan, dan penambangan yang terjadi secara meluas tanpa kebijaksanaan politik dan etik.

Perusakan semakin menemukan jalan sempurna sejak diberlakukan peraturan yang membolehkan tambang di wilayah hutan lindung (Perpu No 1/2004 kemudian berubah menjadi UU No 19/2004 tentang (eksploitasi) hutan). Perusakan hutan nasional semakin tidak terkendali di masa Orde Baru.

Di bawah UU No 11/1967, “kedaulatan negara‘ meluas hingga ke wilayah hutan. Hutan diadministrasi oleh negara sekaligus meminggirkan hak ulayat masyarakat adat dan terasing. “Hutan bukan lagi tanah Allah, tapi menjadi milik Soeharto oleh selembar surat‘, ungkapan satir seorang petani tradisional Aceh, seperti ditulis oleh antropolog asal Australia, John McCarthy, The Fourth Circle: A Political Ecology of Sumatera‘s Rain Forest Frontier (2006).

Di era reformasi, Undang-Undang Kehutanan (UU No 41/1999) tidak kuasa menghentikan nafsu “demokratisasi ekonomi hutan‘. Sumber hijau semakin tidak terkendali rusaknya (sebagian besar oleh perselingkuhan penguasa dengan pengusaha, dari level menteri hingga bupati). Ini bisa dilihat dari nasib hutan-hutan yang telah dilegalisasi. Nasib Kawasan Ekosistem Leuseur (KEL), misalnya.

Kawasan konservasi terpenting dan pengikat karbon utama Asia Tenggara itu telah rusak parah. Luas KEL 2,2 juta hektare kini hanya legenda. Dari penelitian Walhi disebutkan, 55 persen wilayah KEL telah rusak parah. Harimau Sumatera kini tinggal puluhan, seperti juga habitat gajah yang tinggal 400 ekor. Selama tiga tahun terakhir rata-rata setiap tahun 40 ekor gajah mati diracun oleh PTPN di Sumatera.

Hutan-hutan teras lainnya di Sumatera ikut menggundul. Hutan Jambi seluas 2,2 juta hektare pada tahun 2000 kini tinggal 500 ribu hektare saja. Hutan Lampung seluas 1,04 juta hektare, 65 persennya dalam kondisi rusak. Hutan Bengkulu seluas 45.345 hektare kini tinggal 27.262 hektare atau tinggal 61 persen.

Pada masa pemerintahan damai Irwandi-Nazar, nasib hutan-hutan Aceh tidak semakin membaik. Meski visi penyelamatan lingkungan dengan semboyan Aceh Green terpampang besar-besar, yang terjadi malah “Aceh Greed‘ (baca : keserakahan). Aneka izin tambang dikeluarkan dan menyakiti lingkungan dan masyarakat hutan. Belum lagi praktik sawitisasi dengan izin yang cukup mudah dikeluarkan bupati.

Penghancuran Sistematis
Saat ini, menurut data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh tahun 2011, 351 ribu hektare lahan di Aceh dalam status konsesi untuk lahan perkebunan dengan 236 izin hak guna usaha (HGU). Total 745 ribu hektare telah beralih fungsi menjadi wilayah pertambangan.

Perusakan yang membuka tutupan hutan itu telah menjadi momentum katastrofi akut. Hancurnya hutan primer seperti kawasan Leuseur, Ulu Masen, Kuala Unga, dan kasus terakhir rawa gambut Kuala Tripa, Aceh, menunjukkan buruknya pengelolaan hutan Aceh. Foto-foto kehancuran hutan perawan itu menyobek hati dan pikiran ribuan masyarakat yang menggantungkan hidup mereka pada faktor ekologis.

Horror vacuui hutan Sumatera diperkirakan tidak akan berhenti. Kebijakan negara menyelamatkan hutan-hutan tersisa masih sloganistik, seremonial (penanaman semiliar pohon, tapi tidak ada pemantauan berapa banyak yang masih hidup), dan elitis. Ia hanya menjadi ritual palsu yang tidak dirasakan masyarakat pedalaman Sumatera.

Kerusakan hutan jelas mempengaruhi aspek sosial, kultural, etnik, ekonomis, dan ekologis. Semakin banyak masyarakat di perdesaan bergantung hidup pada air kemasan--sesuatu yang tidak pernah dibayangkan 10-20 tahun lalu. Semakin susah petani mendapatkan kualitas hasil pertanian akibat degradasi lingkungan.

Kerusakan ini bukan semata masalah libido ekonomis. Ada perubahan praktik politik begitu cepat dari otoriterisme ke demokrasi yang tidak berjalan mulus. Demikian pula kronisme dan ketakcakapan pemerintahan mengelola hutan ikut mempercepat pengrusakan hutan.

Tanpa kompromi, hak ulayat masyarakat harus dikembalikan. Semangat konsitusi “digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat‘ harus bisa diterjemahkan secara legal dan sosietal. Masyarakat harus menghitung apakah pemerintah benar menggunakan hutan demi kesejahteraan sosial atau menghamba bagi kepentingan korporatisme/individual.

Jika tidak, layak dipikirkan kembali nasihat James C Scott (1985), membangun perlawanan harian (everyday forms of resistance), agar pemerintah insyaf dan mengembalikan hak hutan kepada rakyat. Daulat rakyat atas hutan adat mesti dikedepankan di tengah jahatnya neoliberalisme pengelolaan hutan, termasuk di Sumatera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar