Ekosistem hutan payau atau ekosistem hutan mangrove adalah hutan yang
tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung,
laguna dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang dan bebas
dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi
terhadap garam. Menurut FAO, Hutan Mangrove adalah Komunitas
tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Kondisi habitat tanah
berlumpur, berpasir, atau lumpur berpasir. Ekosistem tersebut merupakan
ekosistem yang khas untuk daerah tropis dan sub tropis, terdapat di
derah pantai yang berlumpur dan airnya tenang (gelombang laut tidak
besar). Ekosistern hutan itu disebut ekosistem hutan payau karena
terdapat di daerah payau
(estuarin), yaitu daerah perairan
dengan kadar garam/salinitas antara 0,5 °/oo dan 30°/oo disebut juga
ekosistem hutan pasang surut karena terdapat di daerah yang
dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis ”Mangue” dan
bahasa Inggris ”grove” (Macnae, 1968 dalam Kusmana et al, 2003). Dalam
bahasa inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan
yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk
individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut.
Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah
tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen dan
hutan payau
(bahasa Indonesia). Selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat
Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering
disebut dengan
hutan bakau. Penggunaan istilah
hutan bakau untuk hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau hanyalah nama lokal dari marga
Rhizophora,
sementara hutan mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan
jenis tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, penyebutan hutan mangrove
dengan
hutan bakau sebaiknya dihindari (Kusmana et al, 2003).
Mangrove tersebar di seluruh lautan tropik dan subtropik, tumbuh hanya
pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang; bila keadaan
pantai sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan
menjatuhkan akarnya. Pantai-pantai ini tepat di sepanjang sisi
pulau-pulau yang terlindung dari angin, atau serangkaian pulau atau pada
pulau massa daratan di belakang terumbu karang di lepas pantai yang
terlindung (Nybakken, 1998).
Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari
ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove
mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (
pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan
anaerob.
Mangrove tersebar di seluruh lautan tropik dan subtropik, tumbuh
hanya pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang; bila keadaan
pantai sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan
menancapkan akarnya.
Ekosistem hutan payau termasuk tipe ekosistem hutan yang tidak
terpengaruh oleh iklim, tetapi faktor lingkungan yang sangat dominan
dalam pembentukan ekosistem itu adalah faktor edafis. Salah satu faktor
lingkungan lainnya yang sangat menentukan perkembangan hutan payau
adalah salinitas atau kadar garam (Kusmana, 1997).
Vegetasi yang terdapat dalam ekosistem hutan payau didominasi oleh tumbuh-tumbuhan yang mempunyai akar napas atau
pneumatofora (Ewusie,
1990). Di samping itu, spesies tumbuhan yang hidup dalam ekosistem
hutan payau adalah spesies tumbuhan yang memiliki kemampuan adaptasi
yang tinggi terhadap salinitas payau dan harus hidup pada kondisi
lingkungan yang demikian, sehingga spesies tumbuhannya disebut tumbuhan
halophytes obligat. Tumbuh-tumbuhan itu pada umumnya
merupakan spesies pohon yang dapat mencapai ketinggian 50 m dan hanya
membentuk satu stratum tajuk, sehingga umumnya dikatakan bahwa pada
hutan payau tidak ada stratifikasi tajuk secara lengkap seperti pada
tipe-tipe ekosistem hutan lainnya. tumbuh-tumbuhan yang ada atau
dijumpai pada ekosistem hutan payau terdiri atas 12 genus tumbuhan
berbunga antara lain genus
Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aeigiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan
Gonocarpus.
Ekosistem hutan payau di Indonesia memiliki keanekaragaman spesies
tumbuhan yang tinggi dengan jumlah spesies tercatat sebanyak lebih
kurang 202 spesies yang terdiri atas 89 spesies pohon, 5 spesies palem,
19 spesies liana, 44 spesies epifit, dan satu spesies sikas (Bengen,
1999). Spesies-spesies pohon utama di daerah payau pada umumnya
membentuk tegakan murni dan merupakan ciri khas komunitas tumbuhannya.
Spesies-spesies pohon utama itu antara lain
Avicennia spp., Sonneratia spp., Rhizophora spp., dan
Bruguiera spp. Spesies-spesies pohon yang dapat menjadi pionir menuju ke arah laut adalah
Avicennia spp., Sonneratia spp., dan
Rhizophora spp., tetapi bergantung kepada kedalaman pantai dan ombaknya.
Adapun spesies-spesies tumbuhan payau tersebut dapat digolongkan ke
dalam sejumlah jalur tertentu sesuai dengan tingkat toleransinya
terhadap kadar garam dan fluktuasi permukaan air laut di pantai, dan
jalur seperti itu disebut juga zonasi vegetasi. Jalur-jalur atau zonasi
vegetasi hutan payau masing-masing disebutkan secara berurutan dari
yang paling dekat dengan laut ke arah darat sebagai berikut.
- Jalur pedada yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Avicennia spp. dan Sonneratia spp.
- Jalur bakau yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Rhizophora spp. dan kadang-kadang juga dijumpai Bruguiera spp., Ceriops spp., dan Xylocarpus spp.
- Jalur tancang yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Bruguiera spp. dan kadang-kadang juga dijumpai Xylocarpus spp., Kandelia spp., dan Aegiceras spp.
- Jalur transisi antara hutan payau dengan hutan dataran rendah yang umumnya adalah hutan nipah dengan spesies Nypa fruticans.
Dari segi ekologi, ekosistem hutan payau merupakan habitat unik dan
paling khas yang dalam banyak hal berbeda dengan habitat-habitat
lainnya. Contoh tipe ekosistem hutan payau ini dapat dilihat pada
Gambar 1. Di habitat ini memungkinkan terjalinnya perpaduan yang unik
antara organisme laut dan darat, serta antara organisme air asin dan
air tawar.
Gambar 1. Ekosistem Hutan Mangrove Seram Utara, Maluku ( Irwanto, 2008)
Ekosistem hutan payau tersebut memiliki fungsi yang sangat kompleks,
antara lain sebagai peredam gelombang laut dan angin badai, pelindung
pantai dari proses abrasi dan erosi, penahan lumpur dan penjerat
sedimen, penghasil detritus, sebagai tempat berlindung dan mencari
makan, serta tempat berpijah berbagai spesies biota perairan payau,
sebagai tempat rekreasi, dan penghasil kayu. Di samping itu, ekosistem
hutan payau juga sebagai tempat/habitat berbagai satwa liar, terutama
spesies burung/aves dan mamalia, sehingga kelestarian hutan payau akan
berperan dalam melestarikan berbagai satwa liar tersebut.
Dari segi peran ekosistem hutan payau terhadap pelestarian lingkungan
di sekitarnya terbukti sangat besar, lahan tambak di daerah pantai
ternyata dapat dimanfaatkan secara optimal untuk usaha perikanan
tambak. Hal tersebut dapat terjadi karena kekuatan air pasang dapat
dikendalikan oleh keberadaan ekosistem hutan payau, sehingga
lahan-lahan di daerah pantai dapat dimanfaatkan secara baik untuk
tambak. Tambak di daerah pantai yang kondisi ekosistem hutan payaunya
baik akan menjadi subur karena pengaruh kualitas perairan payau yang
kaya sumber nutrisi dari detritus yang berasal dari ekosistem hutan
payau, hal itu tentu akan meningkatkan produktivitas tambak itu
sendiri.
PUSTAKA :
- Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan
Indonesia. Laboratorium Ekologi. Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
- Kusmana & Istomo, 1995. Ekologi Hutan : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
- Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
- Richard & Steven, 1988. Forest Ecosystem : Academic Press. San Diego. California.
- Arief, A. 1994, Hutan Hakekat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia Jakarta.