Senin, 18 Maret 2013

Habitat satwa liar Bengkulu kritis


Ilustrasi - hutan gundul akibat pembakaran lahan (FOTO: media.vivanews.com)
Ilustrasi - hutan gundul akibat pembakaran lahan (FOTO: media.vivanews.com)
Meskipun sudah terjadi peningkatan status dari hutan produksi terbatas menjadi taman wisata alam, kawasan hutan pusat konservasi gajah seblat bengkulu semakin kritis. Selain karena dikelilingi oleh perkebunan sawit, kawasan ini juga terancam dari perambahan dan pembukaan untuk pertambangan.
Bengkulu (ANTARA Bengkulu) - Beberapa kawasan hutan yang menjadi habitat satwa langka di Provinsi Bengkulu kondisinya semakin kritis akibat perambahan liar dan rencana pembukaan pertambangan batu bara. Koordinator Pusat Konservasi Gajah Seblat Erni Suyanti Musabine di Bengkulu, Selasa, menyebutkan salah satu kawasan yang semakin terancam adalah Taman Wisata Alam (TWA) Pusat Konservasi Gajah (PKG) di Seblat, Kabupaten Bengkulu Utara.
Kawasan yang menjadi habitat puluhan gajah liar dan satwa langka lainnya yakni harimau Sumatra (Phantera tigris Sumatrae) dan beruang madu (Helarctos malayanus) itu, terus diincar para pemodal untuk mengeruk potensi batu bara setempat.
Menurut Erni Suyanti, hingga saat ini terdapat lebih dari empat permintaan izin untuk melakukan eksplorasi batu bara di kawasan seluas 7.000 hektare lebih itu. "Permohonan untuk melakukan eksplorasi batu bara terus berdatangan, padahal PKG Seblat baru dinaikkan statusnya menjadi taman wisata alam," katanya.
Sebelumnya kata dia, PKG Seblat berstatus Hutan Produksi Terbatas dengan fungsi khusus. Melalui keputusan Menteri Kehutanan nomor SK.643/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan Seluas 2.192 hektare, Perubahan Antarfungsi Kawasan Hutan Seluas 31.013 hektare, dan Penunjukkan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan seluas 101 hektare di Provinsi Bengkulu yang dirilis pada 10 November 2011, PKG Seblat berubah menjadi TWA.
Namun, seluas lebih 500 hektare berubah menjadi kawsan hutan yang dapat dikonversi. "Ini yang mengkhawatirkan karena kawasan seluas 500 hektare itu merupakan habitat gajah liar dan satwa langka lainnya," katanya.
Selain menjadi habitat 19 ekor gajah binaan BKSDA, sebanyak 80 ekor populasi gajah liar diperkirakan masih terdapat di dalam kawasan hutan itu. Ia mengatakan kawasan seluas lebih 7.000 hektare itu memiliki potensi sumberdaya alam keanekaragaman flora fauna yang tinggi, bentang alam yang indah dari sebagian ekosistem asli hutan hujan dataran rendah yang masih tersisa di Provinsi Bengkulu.
Sejumlah penelitian tentang hasil identifikasi kekayaan jenis flora dan fauna, lanskap dan obyek wisata lainnya sebagai potensi atraksi wisata pada jalur patroli hutan yang terpilih untuk jalur wisata.
Anggota Dewan Daerah Walhi Bengkulu, Barlian mengatakan tingginya konflik satwa di Provinsi Bengkulu tidak lain akibat alih fungsi kawasan hutan, terutama menjadi lahan perkebunan dan pertambangan. "Seperti PKG Seblat yang merupakan benteng terakhir dari habitat satwa liar di Bengkulu tetapi terus diincar untuk pertambangan," katanya.
Ia juga mempertanyakan keputusan Menteri Kehutanan yang melepaskan 500 hektare kawasan PKG Seblat dan menurunkan fungsinya menjadi kawasan hutan yang dapat dikonversi. "Ini akal-akalan karena hasil penelusuran kami di lapangan, kawasan seluas 500 hektare itu justru merupakan tempat hidup gajah liar dan satwa langka lainnya," katanya.
Menurutnya, pertambangan batu bara di sekitar PKG Seblat, apalagi di dalam kawasan hutan itu akan menghancurkan habitat satwa langka dilindungi, terutama gajah liar Sumatra yang baru saja dinaikkan statusnya menjadi terancam punah (critically endangered). (rni)
Sumber: 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar