Jika untuk sementara kayu masih menjadi sasaran target utama produksi
hutan, maka segala aktivitas untuk peningkatan produktivitasnya sudah
semestinya tetap berlandaskan kaidah ekosistem hutan atau berwawasan
konservasi agar pelestarian ekosistem hutan dalam jangka panjang dapat
menjadi kenyataan. Beberapa peluang pengelolaan hutan produksi yang
berwawasan konservasi dapat dilakukan dan disesuaikan pada setiap tipe
hutan. Pengertian peluang disini adalah kemungkinan penerapan metode
tertentu yang bukan saja untuk kepentingan ekonomis sesaat (yang bisa
merusak ekosistem hutan dalam jangka panjang) tetapi juga
mempertimbangkan aspek konservasinya. Untuk memudahkan pembahasan
dibedakan antara pengelolaan hutan produksi alam dan tanaman.
I. Pengelolaan Hutan Alam
Hampir seluruh hutan alam termasuk dalam ekosistem hutan tropika
humida dengan sederet atribut yang melekat padanya dan dikenal dengan
ekosistem yang rapuh (fragile ecosystem). Dalam perjalanan
pengelolaannya sampai saat ini kondisi hutan sudah banyak mengalami
kerusakan, akibat eksploitasi yang berlebihan, alih fungsi, kebakaran,
penjarahan dan sebagainya. Kegiatan pengusahaan hutan selama ini
ternyata telah menyebabkan terjadinya penurunan areal dan kualitas hutan
yang berdampak jumlah kayu tersedia untuk panenan siklus tebang kedua
jauh lebih rendah dari yang diharapkan.
Ragam ekosistem hutan alam sangat tinggi, baik dalam volume standing
stock, komposisi, faktor lingkungan dan sebagainya, sehingga memerlukan
penanganan yang berbeda pula. Kebijakan pengelolaan hutan alam yang
berlaku saat ini (Tebang Pilih dan Tanam Indonesia – TPTI) menetapkan
sistem pemanenan yang seragam untuk areal hutan di seluruh wilayah
Indonesia, tanpa memperhatikan tipe dan kondisi hutannya. Intensitas
penebangan ditetapkan dengan batas diameter minimum 40 cm untuk hutan
rawa, 50 cm untuk hutan Dipterocarp dataran rendah serta 60 cm untuk
areal hutan produksi terbatas dengan kelerengan melebihi 40%. Sistem ini
telah mengakibatkan pemanenan berlebih di banyak areal, sehingga hutan
tidak dapat pulih dalam waktu 35 tahun untuk dapat menghasilkan kayu
pada rotasi kedua.
Keanekaragaman jenis sangat tinggi membentuk struktur tertentu baik
secara vertikal (stratifikasi tajuk dan atau perakaran) maupun
horizontal. Mekanisme internal untuk mendapatkan stabilitas ekosistem
justru diperoleh dari aspek ini.
Hutan primer saat ini telah hampir habis dan pada pengelolaan
selanjutnya sudah harus beralih ke hutan bekas tebangan dan atau hutan
tanaman. Karena itu upaya peningkatan produktivitas dengan input energi
(biaya) serendah-rendahnya dan tanpa merugikan lingkungan (tetap
berwawasan konservasi) sangat diperlukan.
Sistem silvikultur yang digunakan hampir seluruhnya adalah TPTI
(Tebang Pilih Tanam Indonesia) dengan satu aturan untuk seluruh hutan
alam di Indonesia, walaupun sistem ini adalah sistem silvikultur yang
relatif paling aman untuk diterapkan dibanding yang lain dalam hal jasa
lingkungannya.
Tidak ada batasan maksimum jumlah volume kayu atau jumlah batang yang
dapat ditebang per satuan areal. Penebangan terlalu banyak pohon di
setiap unit areal dapat mengakibatkan terciptanya kondisi yang
mengganggu pertumbuhan jenis-jenis kayu komersial.
Sesuai dengan situasi saat ini hutan dituntut untuk memberikan produk
yang selalu meningkat, kelestarian yang tetap terjamin dan masukan
biaya yang rendah. Pemenuhan tuntutan ini sungguh tidak mudah namun
tampaknya tidak ada pilihan lain kecuali harus terus mencari peluang
untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan. Beberapa hal yang dapat
dilakukan adalah :
1. Sesuai dengan ragam hutan alam yang tinggi maka perlu penerapan
peraturan (sistem silvikultur dan aturan pengelolaan lainnya) yang
berbeda, setidaknya dibedakan pada level propinsi.
2. Kemampuan optimal suatu ekosistem hutan bukan hanya kayu, karena
itu penentuan AAC seyogyanya tidak hanya mendasarkan pada produksi kayu
saja. Karena itu diperlukan reorientasi pemikiran baru untuk mendapatkan
produktivitas hutan yang optimal. Pola konsumsi produk hasil hutan
dalam bentuk apapun harus didasarkan pada kemampuan ekosistem hutan yang
dimaksud.
3. Dengan mulai habisnya hutan primer, maka pengelolaan hutan alam
akan beralih ke hutan bekas tebangan. Jika diasumsikan tidak ada
tebangan cuci mangkok (tebang ulang sebelum waktunya) hutan bekas
tebangan perlu dipelihara untuk terus meningkatkan produksinya atau
setidaknya kembali ke keadaan semula, apalagi yang karena sebab tertentu
tebang ulang tampaknya tidak bisa dihindari. Karena itu pemeliharaan
hutan menjadi aspek yang sangat penting. Namun jika kegiatan
pemeliharaan hutan ini didasarkan pada sistem silvikultur TPTI hasilnya
tidak efisien (Marsono: 1997). Di antara kegiatan pemeliharaan bekas
tebangan yang berupa perapihan, pembebasan pertama, pengadaan bibit,
pengayaan, pemeliharaan tanaman, pembebasan kedua dan ketiga, dan
penjarangan tajuk, hanya penjarangan tajuklah yang secara langsung
memberikan percepatan pertumbuhan tegakan tinggal paling efektif. Hal
ini terjadi karena tindakan penjarangan memberikan ruang tumbuh optimal
bagi pohon binaan yang terdiri dari pohon inti dan permudaan tingkat
dibawahnya. Kegiatan ini hanya terbatas pada pohon-pohon future harvest
saja dan pada tingkat pertumbuhan tertentu yang paling responsif
terhadap perlakuan ini, sehingga input biaya sangat rendah. Sementara
itu pohon pendamping tetap berfungsi sebagai pembentuk struktur
sehingga terus memberikan jasa lingkungan dan atau atribut
fungsionalnya (tetap berwawasan konservasi), dan sangat efisien karena
menghilangkan banyak pekerjaan dan biaya yang sebenarnya tidak
diperlukan.
4. Dalam jangka panjang sudah harus mulai dipikirkan untuk mengelola
hutan berdasarkan konsep kesesuaian lahan. Dengan berbasis pendekatan
ekosistem, pengelolaan hutan produksi didasarkan pada unit-unit
ekologis yang merupakan resultante dari seluruh faktor lingkungan
(biofisik) sehingga terbentuk kesatuan pengelolaan yang berkemampuan
sama baik produktivitas maupun jasa lingkungannya
5. Introduksi sistem silvikultur atau sistem baru lainnya yang
sekiranya menjanjikan produksi hendaknya dikaji lebih mendalam terlebih
dulu agar kerusakan hutan dapat lebih dibatasi
6. Keberhasilan pengelolaan konservasi di hutan ini sangat
tergantung sumber daya manusianya, karena itu penyiapannya perlu
dilakukan dengan sebaik-baiknya.
II. Pengelolaan Hutan Tanaman
Pada prinsipnya hutan tanaman secara ekologis adalah bentuk
simplifikasi sistem alam dengan tuntutan ekonomis sebagai pengendali
utama. Pengembangan lebih lanjut terhadap motivasi ekonomis tersebut
dilakukan dengan simplifikasi berbagai komponen sistem antara lain
jenis (jenis yang bergenetis baik), bentukan struktur (stratifikasi
tajuk dan atau perakaran), input energi (biaya) dan penggantian natural
stabilizing factor (homeostasis ekosistem) dengan chemical stabilizing
factor (pupuk, pestisida dan lain-lain). Keseluruhan manipulasi ini
dikemas dalam bentuk metode dan sistem silvikultur dengan output utama
produktivitas. Jika prinsip hutan tanaman masih tetap seperti ini maka
pelestarian jangka panjang akan diragukan, atau pada suatu saat secara
finansial akan akan tidak ekonomis lagi, karena harus menanggung beban
atribut fungsional yang sudah tidak berjalan lagi. Dalam sudut pandang
lain dapat dikatakan bahwa integritas ekosistem tidak dapat
dipertahankan lagi, kaidah ekosistem hutan menjadi hilang,
terfragmentasi, sehingga memacu parahnya water yield dan kualitas air,
sempitnya ruang gerak satwa, tererosinya sumber daya genetik dan
penurunan produktivitas hutan dalam jangka panjang (Soekotjo:1999).
Beberapa contoh kasus mundurnya hutan tanaman yang kurang
memperhatikan wawasan konservasi telah disebutkan di muka yaitu antara
lain penurunan produktivitas, penurunan bonita pada areal tertentu dan
sebagainya. Di Philipina, penanaman hutan monokultur (Leucaena
leucocephala) pada kelerengan 36 – 50 % terjadi kebocoran fosfat pada
neraca hara yang dibuatnya sebesar 56,76 kg/ ha/th, sementara pada
grassland area dengan kelerengan yang sama diperoleh saldo sebesar 35,43
kg/ha/th. Keadaan yang hampir sama dilaporkan dari India berasal dari
hutan tanaman cepat tumbuh dan eksot (Eucalyptus sp. dan pinus) yang
ditanam monokultur, tidak berwawasan konservasi menjadi bencana besar
bagi pelestarian lingkungan. Bencana kekurangan air terjadi karena
konsumsi air sangat tinggi untuk pertumbuhan (1,41 dan 8,87 mm per gram
biomasa kering untuk eucalyptus dan pinus) dan kemunduran kualitas
tempat tumbuh (Shiva & Bandyopadhyay: 1983). Kemudian tahun 1985 FAO
(Food and Agriculture Organization of The United Nations) juga
melaporkan kondisi serupa di banyak negara seperti Brazil, Australia,
Malawi dan Afrika Selatan (Poore & Fries: 1985).
Dengan penekanan hutan produksi untuk berfungsi ekonomis yang
setinggi-tingginya maka telah terjadi bahwa hutan tanaman dianggap
kurang/tidak memperhatikan aspek konservasi, sehingga memunculkan isu
penting sebagai berikut:
1. Simplifikasi ekosistem hutan secara berlebihan sehingga struktur
hutan yang terbentuk selalu monokultur. Struktur hutan ini memutus sama
sekali kaidah ekosistem hutan sehingga atribut fungsional ekosistem
tidak operasional
2. Stabilitas hutan menjadi rendah (natural stabilizing factor tidak
berfungsi), sehingga cenderung mengganti menjadi chemical stabilizing
factor yang biayanya mahal dan tidak ramah lingkungan
3. Kemunduran site quality / bonita / tapak hutan. Banyak lahan hutan
tanaman yang mengalami kemunduran tapak hutan yang ditandai dengan
penurunan produktivitas atau kejemuan jenis tertentu sehingga harus
diganti dengan jenis tanaman lain
4. Faktor hidroorologi belum/tidak mendapatkan perhatian yang
memadai. Hal ini dapat dilihat pada besar dan frekuensi banjir hampir
setiap sungai yang ada pada setiap musim penghujan. Akan tetapi
sebaliknya pada musim kemarau banyak sungai yang debitnya sangat kecil
dan bahkan kering tidak berair.
Dalam jangka panjang harus sudah dimulai pengelolaan hutan
berdasarkan kesesuaian lahan, membentuk unit-unit ekologis berdasarkan
kaidah ekosistem yang mempunyai respon yang sama baik dalam
produktivitas maupun jasa lingkungannya. Aspek ini tampak semakin
penting belakangan ini terutama bila dikaitkan dengan desakan pihak lain
untuk menyelenggarakan agribisnis di areal hutan produksi. Terlepas
dari berbagai faktor yang berpengaruh mulai dari politik, sosial,
ekonomi dan kelembagaannya, masalah ini dapat didekati dengan menyusun
klasifikasi lahan yang baik, agar dapat dideliniasi dengan jelas
kawasan-kawasan yang bisa ditolerir untuk agribisnis dan kawasan yang
harus dilakukan pengelolaan hutan berbasis konservasi, sehingga
kualitas lingkungan yang menjadi tanggung jawab hutan produksi dapat
tetap dipertahankan.
Sumber: http://irwantoforester.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar