Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1990, konservasi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya dilakukan dengan kegiatan: (1) perlindungan
sistem penyangga kehidupan; (2) pengawetan keanekaragaman spesies
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (3) pemanfaatan secara
lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam konteks ini,
konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) merupakan bagian tak
terpisahkan dari pengertian konservasi sumberdaya alam hayati. Selain
itu, dengan ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (Biodiversity
Convention) oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-undang Nomor 5
Tahun 1994, konservasi keanekaragaman hayati telah menjadi komitmen
nasional yang membutuhkan dukungan seluruh lapisan masyarakat.
Luas hutan hujan tropika di dunia hanya meliputi 7 % dari luas
permukaan bumi, tetapi mengandung lebih dari 50 % total jenis yang ada
di seluruh dunia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa hutan hujan tropika
merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati terpenting di dunia.
Laju kerusakan hutan hujan tropika yang relatif cepat telah menyebabkan
tipe hutan ini menjadi pusat perhatian dunia internasional. Meskipun
luas Indonesia hanya 1.3 % dari luas bumi, tetapi memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi, meliputi : 10 % dari total jenis
tumbuhan berbunga, 12 % dari total jenis mamalia, 16 % dari total jenis
reptilia, 17 % dari total jenis burung dan 25 % dari total jenis ikan di
seluruh dunia. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi pusat perhatian
dunia internasional dalam hal keanekaragaman hayatinya.
Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun
2002/2003, total daratan yang ditafsir adalah sebesar 187,91 juta ha
kondisi penutupan lahan, baik di dalam maupun di luar kawasan, adalah :
Hutan 93,92 juta ha (50 %), Non hutan 83,26 juta ha (44 %), dan Tidak
ada data 10,73 juta ha (6 %). Khusus di dalam kawasan hutan yaitu seluas
133,57 juta ha, kondisi penutupan lahannya adalah sebagai berikut :
Hutan 85,96 juta ha (64 %), Non hutan 39,09 juta ha (29 %) dan Tidak ada
data 8,52 juta ha (7 %). (BAPLAN, 2005)
Eksploitasi hutan alam produksi secara besar-besaran yang telah
berlangsung sejak tahap awal pembangunan jangka panjang pertama (1969)
telah memberikan kontribusi besar bagi pembangunan nasional melalui
produk utamanya kayu dan hasil hutan ikutan (non-kayu) seperti rotan,
damar, tengkawang, cendana dan gaharu. Tanpa mengabaikan dampak positif
tersebut, eksploitasi hutan alam produksi juga telah memberikan dampak
negatif bagi sumberdaya hutan sendiri. Berbagai jenis kayu komersial,
bahkan di antaranya termasuk kayu mewah, kini telah menjadi langka. Kayu
eboni (Dyospyros ebenum dan D. celebica), kayu ulin (Eusyderoxylon
zwageri), ramin (Gonystylus bancanus), dan beberapa jenis meranti
(Shorea spp.) adalah contoh dari beberapa jenis komersial yang harganya
tinggi, tetapi sudah sulit ditemukan di alam dan di pasaran. Selain itu,
puluhan jenis kayu kurang dikenal (lesser-known species) saat ini
mungkin telah menjadi langka atau punah sebelum diketahui secara pasti
nilai/manfaat dan sifat-sifatnya.
Setiap species mempunyai kecepatan tumbuh yang berbeda-beda, ada yang
tergolong fast growing spesies terutama untuk jenis-jenis pioner,
tetapi ada yang termasuk dalam slow growing spesies. Untuk keberlanjutan
pemanenan jangka panjang jenis pohon yang lambat pertumbuhannya seperti
Shorea ovalis, S. seminis, S. leavis, Vatica sp., Koompassia sp. dan
Eusideroxylon zwageri, maka diperlukan pengurangan dalam intensitas
pembalakan (total gabungan sekitar 5 batang/ ha). Hal ini perlu
dilakukan agar tidak terjadi kepunahan dalam jenis tertentu akibat
penebangan hutan.
Pohon-pohon besar yang hidup di hutan-hutan dataran rendah dengan
ketinggian kanopi mencapai hampir 50 meter. Jenis-jenis pohon yang
berada di hutan-hutan ini adalah dari suku Dipterocarpaceae. Pohon-pohon
ini menduduki sekitar 80% dari biomassa pohon yang kanopinya tertinggi
dan nilai biomassanya mencapai 70% dari seluruh biomassa pohon yang
kanopinya tertinggi (Curran dan Leighton, 2000). Juga merupakan 10% dari
semua jenis pohon yang ada di Indonesia (Ashton dkk., 1998).
Jenis-jenis pohon dari suku Dipterocarpaceae merupakan bagian akhir
dari suksesi hutan, karena hanya tumbuh di hutan-hutan yang sudah
memiliki kanopi yang rapat. Jenis-jenisnya tersebar luas sekali, tumbuh
di hutan-hutan dari dataran rendah sampai kaki pegunungan di seluruh
Asia Tenggara dan sub-benua India. Suku Dipterocarpaceae merupakan
bagian dari kayu keras yang paling berharga di dunia.
Selama beberapa dekade, hutan-hutan Dipterocarpaceae di Indonesia
secara komersial ditebang dengan laju penebangan yang tinggi dan tidak
berkesinambungan. Dampak langsung penebangan terhadap hutan yang sangat
jelas adalah hilangnya sejumlah tertentu pohon. Namun dampak tidak
langsung pengaruhnya sangat besar bagi kesehatan hutan dataran rendah di
masa depan.
Tanaman-tanaman ini tidak hanya harus menghadapi bahaya
terinjak-injak, terluka, dan gangguan-gangguan lainnya yang disebabkan
oleh penebangan, tetapi juga harus bersaing dengan spesies pionir yang
tumbuh cepat yang dapat membuat tanaman tersebut kalah dalam bersaing
mendapatkan cahaya matahari. Satu kajian menunjukkan bahwa penebangan
kembali spesies pionir dan pemberian lubang di kanopi untuk memberi
lebih banyak sinar matahari mampu meningkatkan ketahanan regenerasi
Dipterocarp hingga 30%. Di daerah-daerah yang tidak dikelola,
Dipterocarp umumnya hanya menutup 25% dari total luas lahan basah
Sumber: http://irwantoforester.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar