Pembangunan hutan tanaman sudah saatnya ditinjau kembali dalam upaya
menciptakan hutan tanaman dengan ekosistem yang unggul. Ekosistem yang
unggul merupakan ekosistem yang memiliki keseimbangan alami dan
interaksi antara komponen ekosistem itu berjalan dengan baik walaupun
ekosistem tersebut merupakan ekosistem buatan. Keseimbangan alami
harus diupayakan tercipta pada hutan tanaman sehingga penurunan
kualitas hutan tanaman maupun kualitas lingkungan dapat diatasi.
Membangun
hutan tanaman dengan ekosistem yang mirip dengan hutan alam klimaks
merupakan suatu upaya untuk mencegah terjadinya penurunan kualitas
hutan maupun kualitas lingkungan. Untuk menciptakan hutan tanaman
dengan ekosistem unggul maka ada beberapa aspek yang coba untuk
diperhatikan dalam pembangunan hutan tanaman. Aspek-aspek tersebut
antara lain struktur hutan, keragaman jenis, pemilihan jenis dan
kondisi atau keadaan lahan.
1. Struktur Hutan
Menurut
Marsono (2000b), atribut struktur hutan yang terdiri dari komponen
komposisi jenis, stratifikasi tajuk, stratifikasi perakaran,
diversitas, sebaran spatial dan lain-lain saling menentukan dengan
atribut fungsional hutan seperti produktivitas, siklus hara, siklus
hidrologi, erosi dan lain-lain dalam suatu ekosistem hutan. Dengan
mendasarkan pengertian tersebut maka bila diinginkan atribut fungsional
hutan yang baik seperti produktivitas dan stabilitas hutan
(pelestarian hutan), diperlukan atribut struktural yang baik.
Selanjutnya menurut Marsono (2000b), yang dimaksudkan atribut
struktural yang baik sudah barang tentu didasarkan pada atribut
struktural hutan klimaks pada tipe hutan itu, yang akan berbeda dengan
tipe hutan yang lain. Hutan klimaks mempunyai metabolisme komunitas
dengan rasio Scrodinger mendekati 1 (satu) yang berarti respirasi
tinggi dan akhirnya stabilitas tinggi. Karena itu atribut struktural
dari hutan klimaks seyogyanya diikuti. Jika tidak diikuti, maka
stabilitas sistem menjadi rendah, dan bila diinginkan atribut
fungsional yang baik harus dibayar mahal dengan memberikan input
energi/biaya yang mahal pada sistem.
Belajar dari pengalaman
selama ini bahwa pembangunan hutan tanaman dengan sistem monokultur
kurang menguntungkan dari segi ekosistem. Menurut Sulthoni (1986),
pada Hutan Tanaman Industri komposisi tegakan hutannya terdiri dari
jumlah jenis yang terbatas bahkan seringkali monokultur, dalam keadaan
yang demikian ekologinya cenderung untuk memacu peningkatan populasi
hama penyakit seperti halnya yang terjadi pada ekosistem pertanian.
Selain itu menurut Soedjito (1986), hutan tanaman monokultur kurang
dapat memanfaatkan total energi matahari yang jatuh karena lapisan
tajuknya hanya satu, selain itu juga tidak terjadi stratifikasi
perakaran yang dapat menyebabkan kebocoran hara.
Pengalaman-pengalaman
yang ada memberikan pelajaran bagi kita bahwa pembangunan hutan
tanaman juga merupakan pembangunan ekosistem. Untuk menciptakan hutan
tanaman dengan ekosistem unggul maka kondisi hutan klimaks harus
menjadi pertimbangan dalam pembangunan hutan.. Menurut Gordon dan
Forman (1983), pembuatan hutan tanaman bisa dirancang dengan cakupan
ekologi lansekap, yaitu adanya perhatian pada interaksi di dalam dan di
antar ekosistem.
Struktur hutan tanaman yang hendak
dibangun harus dengan komposisi jenis yang bukan hanya terdiri dari
satu jenis, tetapi harus ada beberapa jenis dan harus tercipta
stratifikasi baik stratifikasi tajuk maupun stratifikasi perakaran.
Hal ini dimaksudkan agar erosi semakin diperkecil dan juga peluang
untuk kebocoran hara semakin kecil, seperti halnya yang terlihat pada
gambar.
Gambar. Hutan Tanaman yang memiliki lebih dari satu Strata
Pada
gambar terlihat hutan tanaman dengan tanaman pokok Jati dan tanaman
penyerta adalah Acacia serta adanya tumbuhan bawah sebagai penutup
tanah. Pada hutan tanaman memberi peluang untuk berlangsungnya siklus
hara secara baik disamping itu kemungkinan erosi semakin diperkecil
karena srata yang lebih dari satu.
Konsep suksesi yang
dipercepat (accelerated succession), nampaknya merupakan konsep yang
harus digunakan dalam membangun hutan tanaman khususnya pada
pembangunan hutan di lahan kritis. Pada konsep ini pembangunan hutan
pada lahan kritis atau lahan yang produktivitas rendah diawali dengan
penanaman jenis-jenis legum pionir. Jenis ini akan berfungsi untuk
memperbaiki dan meningkatkan kualitas tanah, selain itu jenis ini akan
berfungsi sebagai penaung bagi tanaman pokok. Setelah tanaman pokok
cukup umur maka legum pionir ini harus dijarangi agar tidak sampai
menjadi klimaks karena akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem.
Tumbuhan bawah pada mulanya harus mengalami perawatan yaitu dengan
adanya penjarangan agar tumbuhan bawah ini tidak menjadi pengganggu
bagi tanaman pokok, tetapi jika tanaman poko sudah cukup umur dan
mampu bersaing dengan tumbuhan bawah, maka tumbuhan bawah ini
dibiarkan saja untuk membentuk strata bawah dari hutan tanaman.
2. Keragaman Jenis.
Menurut
Marsono (2000b), pada dasarnya adalah kewajiban untuk membentuk
sistem yang tidak monokultur dan atau mempunyai bentang wilayah yang
juga tidak homogen yang sesuai dengan ekosistem setempat. Unit hutan
tanamn hendaknya terdiri atas beberapa jenis. Komposisi jenis ini bisa
diatur berdasarkan hasilnya dengan memperhatikan fenomena perawakan,
tipe arsitektur dan fenologinya.
Tanaman campuran ini, slain
memperkecil resiko serangan hama penyakit, juga dapat mempertinggi
hasil. Gordon dan Dawson (1979) dalam Soedjito (1986) membuktikan
bahwa hutan campuranmemberikan hasil lebih besar daripada tegakan
murni. Gadgil (1971) melalui hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
jenis Lupinus arboreus yang banyak kandungan Nitrogen pada daunnya
ternyata memberikan dampak kenaikan hasil Pinus radiata bila ditanam
secara bersamaan. Hal ini berarti adanya interaksi yang positif antara
kedua tanaman.
Dalam kawasan yang cukup luas pembangunan hutan
tanaman bisa dipadu antara beberapa unit yang tiap unitnya terdiri
atas berbagai jenis. Penyebaran unit-unit ini bisa diatur berselang
seling menurut medan dan kondisi lingkungannya. Seperti halnya konsep
yang dibuat oleh Pickett dan Thomson (1978) dalam desain cagar alam
maupun oleh Kumala (2004) dalam pembangunan konservasi Pseudo in-situ
jenis target Dipterocarpaceae. Tujuan akhir dari desain ini adalah
memperbanyak ekoton, agar heterogenitasnya meningkat. Hakekat dari
usulan ini adalah membuat hutan tanaman sealami mungkin. Hutan
campuran walaupun buatan kalau dikelola dengan baik akan seperti hutan
alam yang masih dekat dengan ekosistem yang tak terganggu.
3. Pemilihan Jenis
Pemilihan
jenis merupakan satu hal yang riskan dalam pembangunan hutan tanaman.
Jenis-jenis asli mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan dan
memperkecil resiko serangan hama dan penyakit yang eksplosif. Beberapa
jenis bahkan oleh masyarakat telah dibudidayakan secara tradisional
sehingga pengembangan menjadi hutan tanaman Industri lebih mudah.
Seperti yang dilaporkan oleh Soedjito dan kawan-kawan (1986), penduduk
pulau Seram dengan terampil memelihara hutan damar (Agathis dammara)
yang sebagian besar diantaranya adalah hasil budidaya begitu juga
dengan jenis kenari babi (Canarium decumanum) juga telah dibudidayakan
dalam skala pedesaan.
Pengalaman pembangunan hutan tanaman di
Indonesia selama ini lebih mengandalkan jenis yang diintroduksi dari
luar dibandingkan dengan jenis asli setempat, karena masalah
produktivitas secara ekonomi. PT. Artika Optima Inti di pulau Seram
bagian Barat tahun 1980-an hingga tahun 1990-an telah mencoba
mengembangkan Hutan Tanaman Industri yang terdiri dari berbagai jenis,
dan mengandalkan jenis asli setempat seperti Agathis (Agathis
dammara), Meranti merah (Shorea selanicca), sengon atau salawaku
(Albizia falcata), maupun angsana (Pterocarpus indicus). Tetapi
ternyata walaupun kegiatan Hutan Tanaman Industri turut didukung oleh
masyarakat sekitar karena adanya jenis-jenis setempat yang biasa
dimanfaatkan oleh masyarakat namun hasilnya tidak dilirik oleh
industri perkayuaan, bahkan hasil panen dibiarkan begitu saja. Dari
segi ekosistem Hutan Tanaman Industri ini cukup baik karena bukan
sistem monokultur ada beberapa jenis yang ditanam berselang-seling dan
juga dengan umur yang berbeda-beda, keseimbangan alami cukup tercipta
di sini, hal ini ditandai gangguan-gangguan yang sangat kurang bahkan
hampir tidak ada.
Pemilihan jenis setempat dalam pembangunan
hutan tanaman selain mengurangi resiko gangguan pada hutan, jenis
setempat juga secara cepat mampu menyesuaikan diri dengan kondisi
lingkungan setempat. Dengan demikian jenis setempat harus menjadi
prioritas dalam pemilihan jenis untuk membangun hutan tanaman. Namun
sampai saat ini domestikasi pohon untuk memperkenalkan jenis-jenis
setempat kurang dilakukan sehingga jenis-jenis eksotik atau jenis yang
diintroduksi yang lebih menjadi prioritas dalam pembangunan hutan
tanaman.
4. Keadaan Lahan
Pertimbangan
keadaan lahan juga penting dalam pembangunan hutan tanaman. Menurut
Marsono (2000b), dalam jangka panjang harus sudah dimulai pengelolaan
hutan berdasarkan kesesuaian lahan, membentuk unit-unit ekologis
berdasarkan kaidah ekosistem yang mempunyai respons yang sama baik
dalam produktivitas maupun jasa lingkungan.
Gambar. Pembuatan Terras dalam Pembangunan Hutan
Pembangunan
hutan tanaman pada lahan dengan topografi berlereng curam aspek
konservasi tanah harus disertakan seperti yang terlihat pada gambar.
Aspek mekanis dan biologis dalam konservasi tanah harus diperhatikan,
seperti pembuatan terras, guludan maupun penanaman vegetasi penutup
tanah. Hal ini kalau tidak diperhatikan maka akan menimbulkan masalah
dalam pengelolaan hutan seperti terjadinya erosi yang berdampak pada
penurunan produktivitas lahan dan pendangkalan pada sungai yang berada
di bawahnya. Pembangunan terras maupun jenis terras disesuaikan
dengan kelerengan.
Aspek-aspek pengelolaan DAS juga perlu
diperhatikan dalam pembangunan hutan tanaman pada suatu DAS.
Pembangunan hutan tanaman di daerah hulu hendaknya tidak menyebabkan
ktidakseimbangan yang terjadi pada daerah hilir.
Pada lahan
kritis seperti yang telah dijelaskan terdahulu maka konsep suksesi
yang dipercepat (acclerated succession) harus menjadi perhatian. Upaya
peningkatan kualitas lahan dengan menananm jenis-jenis yang mampu
memperbaiki kalitas lahan seperti jenis-jenis legum perlu menjadi
perhatian. Jenis-jenis legum memiliki kemampuan untuk bersimbiosis
dengan bakteri pengikat N sehingga Nitrogen tanah menjadi meningkat,
selain itu daun-daun jenis legum ini cepat mengalami dekomposisi
sehingga memberikan sumbangan yang cepat dalm penyediaan bahan organik
tanah.
Sumber: http://ekologi-hutan.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar