Senin, 18 Maret 2013

Hutan Kaltim Tidak Lagi Ramah Bagi Gajah Kerdil


gajah kerdilGajah kerdil (Elephas maximus borneensis) di wilayah Kalimantan. (WWF-Indonesia/Mongabay Indonesia)

Adanya rencana pembukaan lahan dua perusahaan hutan tanaman industri (HTI) di Kalimantan Timur, mengancam populasi gajah kerdil (Elephas maximus borneensis). Kedua perusahaan itu saat ini telah mengantongi izin dan sedang melakukan proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Menurut Agus Suyitno, Human-Elephant Conflict Mitigation Officer WWF-Indonesia Program Kalimantan Timur, pihaknya mendapat dokumen AMDAL tersebut. Berisi usulan konversi hutan tanaman industri di Kecamatan Tulin Onsoi, Nunukan. "Area yang dikonversi itu habitat gajah kerdil," ujar Agus, Sabtu (2/3).
Kawasan yang dikonversi merupakan bagian dari jantung Borneo (Heart of Borneo). Yaitu wilayah yang menjadi komitmen Indonesia, Malaysia, dan Brunei untuk menjaga hutan di Kalimantan. Analisis WWF-Indonesia, lebih dari 70 persen kawasan yang diusulkan dua perusahaan itu merupakan habitat gajah kerdil.
Selain berdampak pada spesies gajah unik ini, penerbitan izin di areal tersebut juga akan berdampak bagi masyarakat sekitar. Sebab, jika kawasan ini dibuka, gajah-gajah liar akan kekurangan pakan alami. "Akibatnya, gajah akan mencari makan di permukiman masyarakat hingga memicu konflik," ujar Agus.
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Kementerian Kehutanan Bambang Wawandono mengharapkan analisis WWF-Indonesia diteruskan pada pihaknya."Bisa dijadikan dasar rekomendasi untuk proses perizinan selanjutanya," kata Bambang.
Ia pun mengakui, pembukaan daerah jeajah gajah kerdil bisa meningkatkan konflik fauna dan manusia. "Harus hati-hati kalau memanfaatkan hutan," ujarnya.
WWF-Indonesia memperkirakan jumlah gajah kerdil hanya mencapai 20 - 80 individu. Gajah ini memiliki daya jelajag hingga ke hutan Malaysia. Sayangnya pada Januari 2013, sepuluh gajah Borneo mati diracun dan diduga terkait perkebunan sawit.
Masyarakat Dayak Agabag di Tulin Onsoi menyebut gajah ini dengan sebutan “Nenek”. Mereka menganggap satwa ini adalah satwa sakral yang tidak boleh diganggu atau dimusuhi.


Sumber: Kompas, Mongabay Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar