Pemberian izin pengembangan Hutan Tanaman Industri
(HTI) tidak saja menimbulkan konflik dengan msyarakat lokal seperti yang
sudah-sudah, tetapi juga mengancam kelestarian hutan alam dan satwa
dilindungi yang ada di Kalimantan Barat. Pemerintah daerah hendaknya
tegas dan tidak memberikan rekomendasi. Salah satu LSM menyebutkan jika
HTI memang legal, tapi tidak lestari.
"Potensi konflik juga akan terjadi di wilayah-wilayah HTI yang sudah beroperasi. maupun di lokasi pencadangan. Karena di lokasi tersebut terdapat beberapa titik desa." tutur Asmungin.
Pontianak, Aktual.co —Rencana pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI) seyogyanya juga disikapi sebagai early warning
(peringatan dini) bagi pemerintah daerah. Karena kebijakan HTI yang
tidak cermat, bisa mengancam kelestarian hutan alam, dan mengarah pada
deforestasi.
Bahkan
ihwal yang lebih merisaukan di dalam realisasinya adalah cenderung
memicu konflik dengan masyarakat. Terutama menyangkut soal bentang dan
rentang luasan pengembangan HTI, niscaya banyak bersinggungan dengan
perkampungan warga.
"Luasan itu ketika ditilik dari peta persebaran kampung di Kalbar,
banyak bersinggungan, bahkan berada di dalam kawasan yang dicadangkan
untuk pengembangan HTI," ungkap staf WWF Kalbar, Ian Hilman, dalam
diskusi terbatas masalah HTI di lembaga Titian Pontianak, Minggu 24
Februari 2013.
Melalui siaran persnya, Ian Hilman mengingatkan Pemprov Kalbar untuk
lebih cermat menyimak SK Menteri Kehutanan nomor
3803/Menhut-VI-BRPUK/2012, yang menyatakan bahwa pencadangan luasan HTI
di Kalbar mencapai 827.614 hektar, Padahal luasan tersebut mencakup
banyak wilayah perkampungan penduduk.
Direktur Lembaga Lingkaran Advokasi dan Riset (Link-AR) Borneo,
Asmungin, memaparkan jika kita berkaca dari keadaan sekarang, terlihat
banyak konflik yang melibatkan masyarakat justru berada di lokasi HTI.
Contoh di desa Nanga Sejirak, Kabupaten Sintang pada tahun 2010. Contoh
lain, soal tuntutan masyarakat terhadap PT ATP di Desa Labai Kecamatan
Simpang Hulu kabupaten Ketapang pada akhir tahun 2012 terkait kontribusi
perusahaan bagi masyarakat.
"Potensi konflik juga akan terjadi di wilayah-wilayah HTI yang sudah
beroperasi. maupun di lokasi pencadangan. Karena di lokasi tersebut
terdapat beberapa titik desa." tutur Asmungin.
Tercatat lahan yang dicadangkan di dalam konsesi HTI PT Finantara
Intiga, berada di sebelas desa di Kecamatan Balai Sebut. Kemudian di
Kecamatan Bonti,Kembayan kabupaten Sanggau, Bahkan malah membentang
sampai ke Kabupaten Sintang. "Padahal yang sudah definitif atau yang
telah eksis saja terdapat 24 desa di lokasi HTI PT itu," tandas
Asmungin.
Asmungin menjelaskan selama ini ketergantungan masyarakat terhadap
hutan sangat tinggi, baik untuk pemenuhan kebutuhan pangan, sumber
pendapatan, eksistensi kebudayaan, dan lain-lain.
HTI di Kalbar berdasarkan data Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan
Produksi (BP2HP) Wilayah X Pontianak, menurut Direktur Titian, Sulhani,
telah mencapai luas 2.429.807 hektar. Luasan ini di luar pencadangan HTI
yang mencapai 827.614 hektar.
"Ke depan HTI berpotensi mengancam keberadaan hutan alam di Kalbar.
Mengingat di dalam izin HTI tersebut masih terdapat hutan alam yang
menjadi habitat satwa liar yang dilindungi," tandas Sulhani.
Untuk itu, Titian mengimbau segenap pemerintah daerah di seantero
Kalbar untuk tidak mudah dan lebih berhati-hati dalam memberikan
rekomendasi izin HTI. Mengingat posisi pemerintah daerah kini memiliki
wewenang untuk memutusakan memberikan rekomendasi atau tidak.
"Rencana strategis (Renstra) Kemenhut menetapkan target pembangunan
HTI mencapai 9 juta hektar. Padahal kondisi faktual pada tahun 2011,
luas HTI di Indonesia sudah mencapai 10 juta hektar. Karena itu Kemenhut
jangan lagi memberikan izin HTI dulu. Ini penting demi menjaga pola
pengelolaan hutan yang legal tapi tetap lestari. Maaf saja, HTI itu
legal. tapi tidak lestari," sindir Sulhani.
Sumber: http://www.aktual.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar