Rabu, 13 Maret 2013

Menyelamatkan Hutan Juga Menyelamatkan Satwa




(dok/antara)

JAKARTA - Pemerintah tengah gencar melarang perdagangan satwa langka. Namun, upaya itu dinilai tidak akan efektif, jika hutan tempat satwa langka hidup tidak dilestarikan. Oleh karena itu, penyelamatan hutan dari penebangan liar dan penggunaan usaha harus dikurangi.
"Pengawasan dan larangan ketat perdagangan satwa yang hampir musnah perlu didukung. Namun yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih saat ini adalah perhatian terhadap kerusakan habitat satwa dan flora yang hampir punah," kata Pius Ginting, Divisi Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), pekan ini.
Dia mengatakan, sejauh ini larangan perdagangan satwa langka terbentur dengan banyaknya penambangan di kawasan hutan. Salah satu contohnya adalah wilayah tambang Weda Bay Nickel di Halmahera.
Di kawasan tambang yang terletak di hutan lindung itu terdapat 22 spesies tumbuhan yang masuk daftar Konvensi Internasional mengenai Perdagangan Satwa Langka (CITES/Convention on International Trade in Endangered Species) dan daftar merah Ikatan Konservasi Alam Internasional (IUCN). Selain itu, di sana juga terdapat jenis fauna yang masuk dalam kategori daftar merah IUCN, di antaranya asian box turtle (Cuora amboinensis), dan sailfin lizard (Hydrosaurus amboinensis).
Sementara itu, di hutan Batang Toru, Sumatera Utara, yang akan ditambang oleh perusahaan emas PT Agincourt Resources, terdapat 15 jenis fauna yang hampir punah. Satwa itu antara lain orang utan sumatera, harimau sumatera, dan tapir asia.
Lemahnya perhatian terhadap habitat flora dan fauna yang rentan punah ini secara tak langsung mencerminkan lemahnya perhatian terhadap daya dukung alam terhadap masyarakat sekitar yang sangat tergantung kepada alam.
Ini karena bagi masyarakat agraris di sekitar hutan, alam adalah sumber penghidupan, seperti produk hutan, binatang buruan. Masyarakat agraris bisa mengelola alam dengan baik jika kehidupan mereka tidak dimiskinkan dan kawasan alam mereka tidak dipenetrasi oleh kegiatan ekonomi destruktif, seperti pertambangan.
"Penghancuran habitat kini bahkan banyak dilakukan secara legal dengan alih fungsi kawasan hutan dan penambangan di kawasan hutan lindung. Kebijakan pemerintah harus mendukung ekonomi ekologis ketimbang ekonomi ekstraktif," katanya.
Industri Perkayuan
Menyikapi perkembangan itu, Uni Eropa secara resmi mengaktivasi Kebijakan atas Industri Perkayuan di wilayah Uni Eropa (EUTR–EU Timber Regulation) sejak 3 Maret 2013. Kebijakan ini diterbitkan guna menghentikan masuk dan dipakainya kayu haram di 27 negara-negara anggota Uni Eropa (UE).
EUTR mengharuskan para importir kayu di Eropa memastikan kayu yang mereka impor ke wilayah UE berasal dari sumber-sumber yang legal. Perusahaan pengimpor diwajibkan memiliki sistem mumpuni guna melacak asal muasal semua produk kayu, termasuk pulp dan kertas, serta menganalisis legalitas produksi tersebut sesuai peraturan dari negara asalnya.
Dengan diaktifkannya kebijakan tersebut, penegak hukum di negara-negara UE sekarang dapat menyita kayu haram yang masuk dan menjatuhkan hukuman bagi importir dan pedagang yang melanggar.
Organisasi lingkungan WWF Indonesia menyambut baik terbitnya kebijakan ini. Sejak 2010, setidaknya dua laporan penting mengenai kayu haram yang masuk ke wilayah UE telah dirilis WWF untuk mendukung advokasi EUTR.
Kayu haram membawa kerugian besar secara ekonomi, yang menurut UNEP nilainya diperkirakan mencapai Rp 300 triliun, di samping itu juga mengancam kehidupan masyarakat sekitar hutan, kelestarian hutan alam, keragaman hayati dan ekosistem penting yang terdapat di dalamnya.
Indonesia relatif diuntungkan dengan adanya implementasi EUTR dan diharapkan dapat menambah nilai perdagangan kayu dari Indonesia yang akan meningkatkan devisa. Sejak 2009, pemerintah menerapkan secara luas verifikasi legalitas kayu (SVLK) dan sampai saat ini sudah diterapkan pada lebih dari 200 perusahaan di seluruh Indonesia.
WWF Indonesia melalui inisiatit GFTN (Global Forest&Trade Network) mendorong pengelolaan hutan lestari dan pemenuhan/pembelian bahan baku kayu yang ramah lingkungan. WWF bekerja sama dengan pelaku usaha melalui upaya pendampingan dan edukasi. Kini GFTN telah memiliki 38 anggota dengan cakupan area hutan yang keanggotaannya mencapai hampir 2 juta hektare di Indonesia.
“Pemberlakuan EUTR ini jelas membantu upaya konservasi di Indonesia. Semestinya akan semakin banyak perusahaan kehutanan yang menerapkan tata kelola kayu dengan benar sehingga program yang digawangi GFTN akan semakin relevan,” ujar Nazir Foead, Direktur Konservasi WWF-Indonesia.
Nazir menambahkan, walaupun hal tersebut merupakan kemajuan, EUTR baru melihat sebatas pemenuhan legalitas produk, belum melihat apakah produk tersebut dihasilkan dengan cara yang lestari atau tidak.
“Identifikasi dan pengelolaan hutan bernilai konservasi tinggi misalnya, bukan merupakan objek yang dilindungi EUTR sehingga walaupun kebijakan ini adalah langkah positif, masing-masing pelaku usaha diharapkan dapat tetap menerapkan green procurement policy,” katanya.

Sumber : Sinar Harapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar