(dok/antara)
JAKARTA - Pemerintah tengah gencar
melarang perdagangan satwa langka. Namun, upaya itu dinilai tidak
akan efektif, jika hutan tempat satwa langka hidup tidak
dilestarikan. Oleh karena itu, penyelamatan hutan dari penebangan
liar dan penggunaan usaha harus dikurangi.
"Pengawasan dan larangan ketat
perdagangan satwa yang hampir musnah perlu didukung. Namun yang
seharusnya mendapatkan perhatian lebih saat ini adalah perhatian
terhadap kerusakan habitat satwa dan flora yang hampir punah,"
kata Pius Ginting, Divisi Kampanye Tambang dan Energi Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), pekan ini.
Dia mengatakan,
sejauh ini larangan perdagangan satwa langka terbentur dengan
banyaknya penambangan di kawasan hutan. Salah satu contohnya adalah
wilayah tambang Weda Bay Nickel di Halmahera.
Di kawasan tambang yang
terletak di hutan lindung itu terdapat 22 spesies tumbuhan yang masuk
daftar Konvensi Internasional mengenai Perdagangan Satwa Langka
(CITES/Convention on International Trade in Endangered Species) dan
daftar merah Ikatan Konservasi Alam Internasional (IUCN). Selain itu,
di sana juga terdapat jenis fauna yang masuk dalam kategori daftar
merah IUCN, di antaranya asian box turtle (Cuora amboinensis), dan
sailfin lizard (Hydrosaurus amboinensis).
Sementara itu, di hutan Batang Toru,
Sumatera Utara, yang akan ditambang oleh perusahaan emas PT Agincourt
Resources, terdapat 15 jenis fauna yang hampir punah. Satwa itu
antara lain orang utan sumatera, harimau sumatera, dan tapir asia.
Lemahnya perhatian terhadap habitat flora dan fauna yang rentan punah
ini secara tak langsung mencerminkan lemahnya perhatian terhadap daya
dukung alam terhadap masyarakat sekitar yang sangat tergantung kepada
alam.
Ini karena bagi masyarakat agraris di sekitar hutan, alam
adalah sumber penghidupan, seperti produk hutan, binatang buruan.
Masyarakat agraris bisa mengelola alam dengan baik jika kehidupan
mereka tidak dimiskinkan dan kawasan alam mereka tidak dipenetrasi
oleh kegiatan ekonomi destruktif, seperti pertambangan.
"Penghancuran habitat kini bahkan
banyak dilakukan secara legal dengan alih fungsi kawasan hutan dan
penambangan di kawasan hutan lindung. Kebijakan pemerintah harus
mendukung ekonomi ekologis ketimbang ekonomi ekstraktif,"
katanya.
Industri Perkayuan
Menyikapi perkembangan itu, Uni Eropa
secara resmi mengaktivasi Kebijakan atas Industri Perkayuan di
wilayah Uni Eropa (EUTR–EU Timber Regulation) sejak 3 Maret 2013.
Kebijakan ini diterbitkan guna menghentikan masuk dan dipakainya kayu
haram di 27 negara-negara anggota Uni Eropa (UE).
EUTR mengharuskan para importir kayu di
Eropa memastikan kayu yang mereka impor ke wilayah UE berasal dari
sumber-sumber yang legal. Perusahaan pengimpor diwajibkan memiliki
sistem mumpuni guna melacak asal muasal semua produk kayu, termasuk
pulp dan kertas, serta menganalisis legalitas produksi tersebut
sesuai peraturan dari negara asalnya.
Dengan diaktifkannya kebijakan
tersebut, penegak hukum di negara-negara UE sekarang dapat menyita
kayu haram yang masuk dan menjatuhkan hukuman bagi importir dan
pedagang yang melanggar.
Organisasi lingkungan WWF Indonesia
menyambut baik terbitnya kebijakan ini. Sejak 2010, setidaknya dua
laporan penting mengenai kayu haram yang masuk ke wilayah UE telah
dirilis WWF untuk mendukung advokasi EUTR.
Kayu haram membawa
kerugian besar secara ekonomi, yang menurut UNEP nilainya
diperkirakan mencapai Rp 300 triliun, di samping itu juga mengancam
kehidupan masyarakat sekitar hutan, kelestarian hutan alam, keragaman
hayati dan ekosistem penting yang terdapat di dalamnya.
Indonesia relatif diuntungkan dengan
adanya implementasi EUTR dan diharapkan dapat menambah nilai
perdagangan kayu dari Indonesia yang akan meningkatkan devisa. Sejak
2009, pemerintah menerapkan secara luas verifikasi legalitas kayu
(SVLK) dan sampai saat ini sudah diterapkan pada lebih dari 200
perusahaan di seluruh Indonesia.
WWF Indonesia melalui inisiatit GFTN
(Global Forest&Trade Network) mendorong pengelolaan hutan lestari
dan pemenuhan/pembelian bahan baku kayu yang ramah lingkungan. WWF
bekerja sama dengan pelaku usaha melalui upaya pendampingan dan
edukasi. Kini GFTN telah memiliki 38 anggota dengan cakupan area
hutan yang keanggotaannya mencapai hampir 2 juta hektare di
Indonesia.
“Pemberlakuan EUTR
ini jelas membantu upaya konservasi di Indonesia. Semestinya akan
semakin banyak perusahaan kehutanan yang menerapkan tata kelola kayu
dengan benar sehingga program yang digawangi GFTN akan semakin
relevan,” ujar Nazir Foead, Direktur Konservasi WWF-Indonesia.
Nazir menambahkan, walaupun hal
tersebut merupakan kemajuan, EUTR baru melihat sebatas pemenuhan
legalitas produk, belum melihat apakah produk tersebut dihasilkan
dengan cara yang lestari atau tidak.
“Identifikasi dan
pengelolaan hutan bernilai konservasi tinggi misalnya, bukan
merupakan objek yang dilindungi EUTR sehingga walaupun kebijakan ini
adalah langkah positif, masing-masing pelaku usaha diharapkan dapat
tetap menerapkan green procurement policy,” katanya.
Sumber : Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar